Sabtu, 11 Desember 2010

Waspadai Histamin pada Ikan

Sajian dari ikan laut selalu mengundang selera. Selain rasanya yang lezat, kandungan proteinnya pun tergolong sangat prima kualitasnya. Tidak hanya itu, ikan juga merupakan sumber asam lemak tidak jenuh ganda yang sangat besar peranannya dalam mencegah berbagai macam penyakit (jantung koroner, aterosklerosis dan beberapa penyakit kanker). Tetapi, dibalik kelezatannya tersembunyi bahaya keracunan histamin. Apa itu histamin?
Histamin merupakan senyawa turunan dari asam amino histidin yang banyak terdapat pada ikan. Asam amino ini merupakan salah satu dari sepuluh asam amino esensial yang dibutuhkan oleh anak-anak dan bayi tetapi bukan asam amino esensial bagi orang dewasa. Di dalam tubuh kita, histamin memiliki efek psikoaktif dan vasoaktif. Efek psikoaktif menyerang sistem saraf transmiter manusia, sedangkan efek vasoaktif-nya menyerang sistem vaskular. Pada orang-orang yang peka, histamin dapat menyebabkan migren dan meningkatkan tekanan darah.
Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/ 100 gr ikan. Keracunan ini biasanya akan timbul karena tingginya kadar histamin yang terdapat pada ikan yang kita konsumsi. Menurut FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat, keracunan histamin akan berbahaya jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 gr ikan. Sedangkan kandungan histamin sebesar 20 mg/ 100 gr ikan, terjadi karena penanganan ikan yang tidak hiegenis.
Gejala keracunan akan muncul apabila kita mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin yang berlebih, yaitu dalam jumlah diatas 70-1000 mg. Akibatnya, timbul muntah-muntah, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, gatal-gatal dan badan lemas. Sekilas gejala keracunan histamin mirip dengan gejala alergi yang dialami oleh orang yang sensitif terhadap ikan atau bahan makanan asal laut. Oleh karena itu biasanya orang sering keliru membedakan gejala keracunan histamin dengan alergi. Sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat keracunan histamin. Meskipun begitu kita harus tetap waspada, karena efek yang ditimbulkannya juga tidak bisa dianggap sepele.
Langkah yang paling tepat untuk mencegah keracunan histamin adalah dengan cara memilih dan mengkonsumsi ikan yang masih segar dan bermutu baik. Selain itu perhatikan pula cara penanganan ikan secara tepat dan benar sehingga kemungkinan besar bahayanya dapat dihindari.
Sumber : Clickwok

Sumber : waspadai histamin pada ikan

Minggu, 17 Oktober 2010

Nipagin ????

Nama: Nipagin atau Methyl Paraben atau Methyl hydroxybenzoate atau CH3(C6H4(OH)COO)

Nipagin (Methyl parahydroxybenzoate) adalah bahan pengawet makanan yang dipakai di berbagai jenis makanan. Penggunaannya diatur dalam Codex Alimentarius Commission. Nipagin memiliki nama lain, yakni methylparaben dengan rumus kimia  CH3(C6H4(OH)COO). Jenis paraben lain yang juga banyak digunakan adalah propylparaben dan butylparaben.

Menurut FDA, untuk suatu produk biasanya paraben yang digunakan berjumlah lebih dari satu jenis. Pengawet ini biasanya digabung dengan pengawet lain untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai jenis mikroorganisme.

Sesuai Codex, jumlah asupan nipagin dalam tubuh per hari (acceptable daily intake) adalah 10 miligram per kilogram berat badan. Jika berat badan seseorang 50 kilogram, konsumsi aman nipagin 500 mg per hari.

Jika berat kecap dalam mi instan 4 gram dan kandungan nipaginnya 1 mg, maka 500 mg nipagin itu setara 2 kg kecap. Jumlah kecap sebanyak itu tidak mungkin dikonsumsi seseorang dalam satu hari.

Penggunaan nipagin pada makanan sebenarnya dapat dihilangkan dengan teknologi temperatur ultratinggi. Namun, itu akan membuat nilai ekonomi barang menjadi tinggi. ”Hingga kini belum ada laporan keracunan, apalagi kematian akibat penggunaan nipagin,” ujar Rahmana Erman Kartasasmita, Ahli Analisis dan Keamanan Pangan dari Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung.

Fungsi nipagin hanya menahan laju pertumbuhan mikroba yang membuat makanan cepat rusak. Penggunaan nipagin berlebih tidak memperpanjang daya tahan makanan jika jumlah mikroba dalam makanan itu telah berlebih sejak awal.

Untuk mempertahankan hidupnya, manusia tidak lepas dari makanan. Guna makanan untuk mendapatkan energi, memperbaiki sel-sel yang rusak, pertumbuhan, menjaga suhu dan menjaga agar badan tidak terserang penyakit, makanan yang bergizi merupakan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Untuk maksud tersebut kita memerlukan zat aditif.

Zat aditif pada makanan adalah zat yang ditambahkan dan dicampurkan dalam pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Jenis­-jenis zat aditif antara lain pewarna, penyedap rasa, penambah aroma, pemanis, pengawet, pengemulsi dan pemutih.

Zat aditif pada makanan ada yang berasal dari alam dan ada yang buatan (sintetik). Untuk zat aditif alami tidak banyak menyebabkan efek samping. Lain halnya dengan zat aditif sintetik.

Apa saja Bahaya Nipagin?

Keamanan jangka panjang dari methyl paraben atau nipagin adalah topik yang akhir-akhir ini mencuat dengan adanya kasus penarikan produk mie instan Indomie dari pasaran di Taiwan.

Mekanisme penyerapan tubuh
Methil paraben mudah diserap oleh saluran usus atau oleh kulit, misalnya pada penggunaan produk perawatan tubuh seperti lotion dan deodoran. Hati-hati pada penggunaan jangka panjang produk ini, sebuah studi pada Mei 2008 yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Toxicology dilaporkan bahwa ester paraben tidak selalu dipecah dan dikeluarkan oleh tubuh. Bertindak seperti estrogen lingkungan, mereka menumpuk di organ reproduksi tubuh dan menyebabkan masalah kesehatan kronis seperti kanker payudara dan infertilitas pria.

Kanker payudara
Hubungan antara paraben dan kanker payudara adalah satu hal yang masih kontroversial. Sebuah studi tahun 2004 yang diterbitkan dalam Journal of Applied Toxicology melaporkan bahwa biopsi jaringan kanker payudara mengungkapkan jumlah jejak paraben. Meskipun penelitian yang lebih besar diperlukan untuk menetapkan peran kimia dalam menyebabkan kanker payudara. Disarankan bagi mereka dengan kerentanan genetik untuk kanker estrogen-dependent untuk menjauh dari metil dan parabens lainnya.

Ketidaksuburan pada pria
Parabens menyerupai hormon estrogen dalam tubuh wanita. Menurut studi yang Januari 2009 diterbitkan dalam Journal of Reproduksi Toksikologi, parabens mungkin memiliki peran dalam infertilitas pria. Laporan penelitian bahwa sifat estrogenik ringan dari bahan yang dapat mengubah kesehatan sel-sel di testis, dan pada gilirannya bertanggung jawab untuk jumlah sperma lebih rendah dan potensi reproduksi berkurang.

Alergi
Sebagian kecil orang dari masyarakat umum yang sensitif terhadap metil dan parabens lainnya. Bahan dapat menyebabkan dermatitis dan iritasi kulit pada orang dengan alergi paraben. Sementara mereka adalah non-iritasi bagi kebanyakan orang, individu rentan terhadap alergi kulit, eksim dan rosacea dapat mengambil manfaat dari menggunakan produk paraben-free. Dalam penilaian terhadap keselamatan paraben, Cosmetic Ingredient Review panel pakar menyimpulkan bahwa pasien dengan kepekaan terhadap bahan bisa mentolerir penerapan produk yang mengandung paraben pada kulit normal, tetapi tidak ketika diterapkan pada kulit rusak atau peka.

Pemakaian Zat Pengawet Methylparaben

Paraben secara teknis dikenal sebagai ester dari asam para-hidroksibenzoat. Bahan ini dikembangkan dari asam organik dan alkohol. Walaupun paraben adalah produk alam, namun karena penggunaannya massal paraben diproduksi secara sintetis.

Sebagai zat pengawet makanan, Badan pengawas makanan dan obat Amerika (FDA) menggolongkan Methylparaben atau nipagin dalam kategori Generally Recognized as Safe (GRAS) yang larut dalam air.

Intinya Methylparaben dipakai untuk mencegah pembusukan dan kontaminasi dari jamur sehingga produk tahan terhadap jamur dan mikroba dalam beberapa jangka waktu.

"Di Indonesia penggunaan Bahan Tambahan Pangan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Salah satu bahan tambahan pangan yang diatur adalah nipagin (methyl p-hydroxybenzoate) yang berfungsi sebagai pengawet dengan batas maksimum penggunaan," kata Dra Kustantinah, Apt, M.App.Sc, Kepala BPOM RI, dilansir dari rilis BPOM.

Seperti dilansir dari Ehow, Methylparaben bisa ditemukan pada produk seperti:
  • Kecap
  • Sereal
  • Produk roti
  • Produk susu beku
  • Minyak dan lemak
  • Selai
  • Sirup
  • Produk coklat dan kakao
  • Minuman kaleng
  • Bumbu-bumbu kemasan
  • Produk daging, ikan dan unggas

Sedangkan pada kosmetik, Methylparaben sering ditemukan pada:
  • Pelembab wajah
  • Produk anti-penuaan
  • Pewarna rambut
  • Produk pemutihan kulit
  • Gel cukur
  • Pembersih wajah
  • Spray
  • Shampo dan conditioner
  • Maskara
  • Eye shadow
  • Alas bedak

Dan dalam industri farmasi, Methylparaben telah digunakan untuk melindungi obat sejak 1924. Metil digunakan untuk anti-bakteri seperti pada:
  • Antibiotik topikal
  • Kortikosteroid
  • Obat tetes mata
  • Penisilin

"Dalam produk kecap, batas maksimum penggunaan yang diijinkan adalah 250 mg/kg. Dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, batas maksimum penggunaan adalah 1000 mg/kg," jelas Dra Kustantinah.

Dra Kustantinah dalam rilisnya juga menjelaskan, dari kajian persyaratan di beberapa negara seperti Kanada, Amerika Serikat, batas maksimum penggunaan nipagin dalam pangan yang diijinkan adalah 1000 mg/kg. Sedangkan di Singapura dan Brunei Darussalam, batas maksimum penggunaan dalam kecap 250 mg/kg dan di Hongkong sebesar 550 mg/kg.

sumber: suaramedia.com, ehow.com, detikhealth

Sabtu, 18 September 2010

Membersihkan Peralatan Laboratorium

Kebersihan peralatan laboratorium, baik yang berupa peralatan gelas atau non gelas seperti bejana polyethylene, polypropylene dan teflon, merupakan bagian yang sangat mendasar dalam kegiatan laboratorium dan merupakan elemen penting dalam program jaminan mutu.


Perhatian kepada kebersihan barang-barang tersebut harus ditingkatkan dan harus proporsional dengan tingkat kepentingan pengujian, akurasi pengukuran yang diperlukan dan menurunnya konsentrasi analit yang akan ditentukan.

Setiap laboratorium harus menetapkan prosedur yang memadai untuk membersihkan peralatan gelas dan non gelas yang digunakan dalam berbagai macam pengujian. Apabila metodologi pengujian tertentu mensyaratkan prosedur membersihkan secara spesifik, maka prosedur tersebut harus diikuti.

Cara Membersihkan Peralatan Laboratorium Secara Umum

Proses membersihkan harus dilakukan segera setelah peralatan digunakan. Membuang bahan berbahaya dan pembersihan bahan korosif sebelum peralatan tersebut dibersihkan. Peralatan cuci manual atau otomatis harus menggunakan deterjen yang sesuai dengan kegunaannya.


Residu organik memerlukan perlakuan dengan larutan pembersih asam kromat. Peralatan harus dikeringkan dan disimpan dalam kondisi yang tidak memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh debu atau bahan lain.


Cara Membersihkan Timbangan

Kebersihan timbangan harus dicek setiap kali selesai digunakan, bagian dan menimbang harus dibersihkan dengan menggunakan sikat, kain halus atau kertas (tissue) dan membersihkan timbangan secara keseluruhan timbangan harus 392 dimatikan, kemudian piringan (pan) timbangan dapat diangkat dan seluruh timbangan dapat dibersihkan dengan menggunakan pembersih seperti deterjen yang lunak, campurkan air dan etanol/alkohol. Sesudah dibersihkan timbangan dihidupkan dan setelah dipanaskan, cek kembali dengan menggunakan anak timbangan.


Cara Membersihkan dan Merawat Penangas Air (Water Bath) Thermostat

Perawatan secara reguler oleh Jasa Layanan pelanggan tidak diperlukan. Pembersihan yang dibutuhkan pada perawatan (seperti membersihkan sudu-sudu / baling-baling roda yang berputar) dilakukan oleh Operator laboratorium sesuai dengan petunjuk pabrik.

Media pemanas dan Alat

Media pemanas (misal air) harus dapat diganti dalam kasus bila terlihat adanya kontaminasi ( seperti partikel-partikel, kontaminasi dari reagen). Permukaan alat harus dibersihkan dengan menggunakan pembersih (sabun/ deterjen yang biasa digunakan). Kontaminasi lebih kuat ( adanya deposit kapur), dapat dihilangkan dengan pembersih yang khusus/cocok (misal asam asetat encer).

Rabu, 15 September 2010

Salmonella

Salmonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk tongkat yang menyebabkan tifus, paratifus, dan penyakit foodborne. Spesies-spesies Salmonella dapat bergerak bebas dan menghasilkan hidrogen sulfida. Salmonella dinamai dari Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika, walaupun sebenarnya, rekannya Theobald Smith (yang terkenal akan hasilnya pada anafilaksis) yang pertama kali menemukan bakterium tahun 1885 pada tubuh babi.


Patogenitas

Salmonella adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui makanan (foodborne diseases).Pada umumnya, serotipe Salmonella menyebabkan penyakit pada organ pencernaan.Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella disebut salmonellosis. Ciri-ciri orang yang mengalami salmonellosis adalah diare, keram perut, dan demam dalam waktu 8-72 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan muntah-muntah.Tiga serotipe utama dari jenis S. enterica adalah S. typhi, S. typhimurium, dan S. enteritidis. S. typhi menyebabkan penyakit demam tifus (Typhoid fever), karena invasi bakteri ke dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan makanan/intoksikasi. Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual, muntah dan kematian. S. typhi memiliki keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain. Infeksi Salmonella dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh mereka yang menurun. Kontaminasi Salmonella dapat dicegah dengan mencuci tangan dan menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi.

Media tumbuh

Untuk menumbuhkan Salmonella dapat digunakan berbagai macam media, salah satunya adalah media Hektoen Enteric Agar (HEA). Media lain yang dapat digunakan adalah SS agar, bismuth sulfite agar, brilliant green agar, dan xylose-lisine-deoxycholate (XLD) agar. HEA merupakan media selektif-diferensial. Media ini tergolong selektif karena terdiri dari bile salt yang berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan beberapa gram negatif, sehingga diharapkan bakteri yang tumbuh hanya Salmonella. Media ini digolongkan menjadi media diferensial karena dapat membedakan bakteri Salmonella dengan bakteri lainnya dengan cara memberikan tiga jenis karbohidrat pada media, yaitu laktosa, glukosa, dan salisin, dengan komposisi laktosa yang paling tinggi. Salmonella tidak dapat memfermentasi laktosa, sehingga asam yang dihasilkan hanya sedikit karena hanya berasal dari fermentasi glukosa saja. Hal ini menyebabkan koloni Salmonella akan berwarna hijau-kebiruan karena asam yang dihasilkannya bereaksi dengan indikator yang ada pada media HEA, yaitu fuksin asam dan bromtimol blue.

Referensi

  1. ^ (en) Ryan KJ, Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed.). McGraw Hill. ISBN 0-8385-8529-9.
  2. ^ (en)Giannella RA (1996). "Salmonella". di dalam Baron S et al (eds.). Baron's Medical Microbiology (edisi ke-4th ed.). Univ of Texas Medical Branch. ISBN 0-9631172-1-1. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?rid=mmed.section.1929.
  3. ^ Salmonella di Who Named It
  4. ^ Daniel Elmer Salmon di Who Named It
  5. ^ a b c d e (en) FSIS. 2006. foodborne illness and disease. [terhubung berkala] http://www.fsis.usda.gov/Fact_Sheets/Foodborne_Illness_&_Disease_Fact_Sheets/index.asp [11 Apr 2008].
  6. ^ a b c d (en) Maloy S. 1999. Salmonella Information. [terhubung berkala]. http://www.Salmonella.org/info.html [11 Apr 2008].
  7. ^ a b (en) CDC. 2006. Division of Bacterial and Mycotic Diseases-Salmonellosis.[terhubung berkala] http://wwwn.cdc.gov/travel/contentDiseases.aspx#salm [11 Apr 2008].
  8. ^ a b c d (en) King S, Metzger WI. 1968. A new plating medium for the isolation of enteric pathogens. I. hektoen enteric agar. Appl Microbiol 16(4):577-578.
  9. ^ a b c (en) Taylor WI, Schelhart D. 1970. Isolation of Shigellae. 8. Comparison of xylose lysine deoxycholate agar, hektoen enteric agar, Salmonella-Shigella agar, and eosin methylene blue agar with stool specimens. Appl Microbiol 21:32-37.

Senin, 13 September 2010

Bacillus cereus

Karakteristik umum

Bacillus cereus merupakan bakteri Gram-positif, aerob fakultatif, dan dapat membentuk spora. Selnya berbentuk batang besar dan sporanya tidak membengkakkan sporangiumnya. Sifat-sifat ini dan karakteristik-karakteristik lainnya, termasuk sifat-sifat biokimia, digunakan untuk membedakan dan menentukan keberadaan B. cereus , walaupun sifat-sifat ini juga dimiliki oleh B. cereus var. mycoides , B. thuringiensis dan B. anthracis . Organisme-organisme ini dibedakan berdasarkan pada motilitas/gerakan (kebanyakan B. cereus motil/dapat bergerak), keberadaan kristal racun (pada B. thuringiensis ), kemampuan untuk menghancurkan sel darah merah (aktivitas hemolytic ) ( B. cereus dan lainnya bersifat beta haemolytic sementara B. anthracis tidak bersifat hemolytic ), dan pertumbuhan rhizoid (struktur seperti akar), yang merupakan sifat khas dari B. cereus var. mycoides .
Gejala-gejala penyakit

Keracunan makanan karena B. cereus merupakan penamaan secara umum, walaupun ada dua tipe penyakit yang disebabkan oleh dua metabolit yang berbeda. Penyakit dengan gejala diare (tipe diare) disebabkan oleh protein dengan berat molekul besar, sementara penyakit dengan gejala muntah (tipe emetik) diyakini disebabkan oleh peptida tahan panas dengan berat molekul rendah.

Gejala-gejala keracunan makanan tipe diare karena B. cereus mirip dengan gejala keracunan makanan yang disebabkan oleh Clostridium perfringens . Diare berair, kram perut, dan rasa sakit mulai terjadi 6-15 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi. Rasa mual mungkin menyertai diare, tetapi jarang terjadi muntah (emesis). Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala ini tetap berlangsung selama 24 jam.

Keracunan makanan tipe emetik ditandai dengan mual dan muntah dalam waktu 0.5 sampai 6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Kadang-kadang kram perut dan/atau diare dapat juga terjadi. Umumnya gejala terjadi selama kurang dari 24 jam. Gejala-gejala keracunan makanan tipe ini mirip dengan gejala keracunan makanan yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus . Beberapa strain B. subtilis dan B. licheniformis telah diisolasi dari kambing dan ayam yang dicurigai menjadi penyebab kasus keracunan makanan. Organisme-organisme ini menghasilkan racun yang sangat tahan panas yang mungkin mirip dengan racun penyebab muntah yang diproduksi oleh B. cereus .

Keberadaan B. cereus dalam jumlah besar (lebih dari 10 6 organisme/g) dalam makanan merupakan indikasi adanya pertumbuhan dan pembelahan sel bakteri secara aktif, dan berpotensi membahayakan kesehatan.
Diagnosis

B. cereus dipastikan sebagai penyebab suatu kasus keracunan makanan, apabila (1) hasil isolasi B. cereus menunjukkan bahwa strain-strain dari serotip yang sama ditemukan pada makanan yang dicurigai dan dari kotoran atau muntahan pasien, atau (2) hasil isolasi bakteri dari makanan yang dicurigai, kotoran, atau muntahan pasien menunjukkan adanya sejumlah besar B. cereus dari serotip yang dikenal sebagai penyebab keracunan makanan, atau (3) dengan cara mengisolasi B. cereus dari makanan yang dicurigai dan menentukan kemampuannya dalam menghasilkan enterotoxin ( enterotoxigenicity ) dengan uji serologis (untuk toxin penyebab diare) atau uji biologis (untuk tipe diare dan emetik). Pada tipe emetik, waktu yang cepat munculnya gejala segera setelah infeksi, didukung dengan beberapa bukti pada makanan, seringkali sudah cukup untuk mendiagnosis keracunan makanan tipe ini.
Makanan yang terkait

Berbagai jenis makanan, termasuk daging, susu, sayuran, dan ikan, berkaitan dengan penyebab keracunan makanan tipe diare. Kasus-kasus tipe emetik umumnya berkaitan dengan makanan dari beras. Walaupun demikian, makanan bertepung lainnya seperti kentang, pasta, dan keju juga dapat menjadi penyebabnya. Campuran makanan seperti saus, pudding, sup, casserole (sejenis makanan yang dimasak dalam wadah tertutup di atas api kecil), pastry (sejenis kue), dan salad sering dicurigai sebagai penyebab dalam kasus-kasus keracunan makanan.
Pencegahan

Pencegahan secara total mungkin tidak dapat dilakukan. Namun demikian, makanan yang dimasak, dipanaskan, dan disimpan dengan benar umumnya aman dari racun yang menyebabkan muntah. Resiko paling besar yaitu kontaminasi silang, yakni apabila makanan yang sudah dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan yang terkontaminasi (misalnya alas pemotong).

Tipe emetik umumnya berkaitan dengan makanan yang mengandung tepung, yang disimpan dengan cara yang tidak benar (misalnya nasi, pasta). Penyimpanan dengan benar (di bawah 7°C dan hanya untuk beberapa hari) akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan produksi racun.
Populasi rentan

Semua orang diyakini rentan terhadap keracunan makanan oleh B. cereus.
Sumber:

The bad bug book : http://www.cfsan.fda.gov/~mow/intro.html

Rabu, 04 Agustus 2010

Produksi Keju

Untuk kebanyakan keju yang diproduksi di seluruh dunia, digunakan susu sapi, akan tetapi susu dari hewan lain, terutama kambing dan domba juga banyak digunakan. Kualitas susu yang digunakan di (semi-) industri pembuatan keju dikontrol dengan ketat di Eropa. Mayoritas keju dibuat dari susu dengan perlakuan panas atau susu pasteurisasi (baik penuh, rendah lemak, maupun tanpa lemak). Jika non-pasteurisasi susu yang digunakan, keju harus dimatangkan (dengan cara diperam) paling sedikit selama 60 hari pada suhu tidak kurang dari 4 °C untuk memastikan keamanan melawan organisme yang membahayakan (patogen). Persyaratan pasteurisasi susu yang digunakan untuk membuat keju varietas khusus diatur berbeda di setiap negara.

Pembuatan keju melibatkan sejumlah tahapan yang umum untuk kebanyakan tipe keju.

Susu keju diberi perlakuan pendahuluan, bisa berupa pematangan awal setelah penambahan kultur bakteri yang tepat untuk setiap tipe keju, dan dicampur dengan rennet.

Aktivitas enzim pada rennet menyebabkan susu terkoagulasi menjadi jelly padat yang dikenal dengan koagulum. Jelly ini dipotong dengan alat pemotong khusus menjadi kubus-kubus kecil sesuai ukuran yang diinginkan – ditempat pertama untuk memfasilitasi pengeluaran whey. Selama periode proses pembuatan dadih (curd), bakteri tumbuh dan membentuk asam laktat, dan butiran-butiran dadih dikenai perlakuan mekanik dengan alat pengaduk, sementara itu pada saat yang bersamaan dadih dipanaskan menurut seting program.

Kombinasi efek dari tiga perlakuan ini – pertumbuhan bakteri, perlakuan mekanik, dan perlakuan panas – menghasilkan sineresis, yaitu pemisahan whey dari butiran-butiran dadih. Dadih yang telah selesai diletakkan dalam cetakan keju yang terbuat dari metal, kayu atau plastik, yang menentukan bentuk keju akhir.

Keju dipres, baik oleh beratnya sendiri atau pada umumnya dengan mempergunakan tekanan terhadap cetakan. Perlakuan selama permbuatan dadih dan pengepresan menentukan karakteristik keju. Aroma keju yang sesungguhnya ditentukan selama pematangan keju.

Langkah-langkah berbeda dalam pembuatan keju dibahas di bawah ini.
Pasteurisasi

Sebelum pembuatan keju yang sesungguhnya dimulai, susu biasanya menjalani perlakuan pendahuluan yang dirancang untuk menciptakan kondisi optimum untuk produksi.

Susu yang diperuntukkan untuk tipe keju yang memerlukan pematangan lebih dari sebulan sebenarnya tidak perlu dipasteurisasi, tetapi biasanya tetap dipasteurisasi.

Susu yang diperuntukkan untuk keju mentah (keju segar) harus dipasteurisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa susu keju untuk tipe yang membutuhkan periode pematangan lebih dari sebulan tidak harus dipasteurisasi di kebanyakan negara.

Susu yang diperuntukkan untuk Emmenthal, Parmesan dan Grana asli, beberapa tipe keju ekstra keras, tidak boleh dipanaskan melebihi 40°C, agar tidak mempengaruhi rasa, aroma, dan pengeluaran whey. Susu yang diperuntukkan untuk keju tipe ini biasanya berasal dari peternakan pilihan dengan inspeksi ternak secara rutin oleh dokter hewan.

Walaupun keju terbuat dari susu yang tidak terpasteurisasi diyakini memiliki rasa dan aroma lebih baik, kebanyakan produser (kecuali pembuat keju tipe ekstra keras) mempasteurisasi susu, karena kualitas susu yang tidak dipasteurisasi jarang dapat dipercaya sehingga mereka tidak mau mengambil risiko untuk tidak mempasteurisasinya.

Pasteurisasi harus cukup untuk membunuh bakteri yang dapat mempengaruhi kualitas keju, misalnya coliforms, yang bisa membuat “blowing” (perusakan tekstur) lebih dini dan rasa tidak enak. Pateurisasi reguler pada 72 – 73°C selama 15 – 20 detik paling sering dilakukan.

Meskipun demikian, mikroorganisme pembentuk spora (spore-forming microorganism) yang dalam bentuk spora, tahan terhadap pasteurisasi dan dapat menyebabkan masalah serius selama proses pematangan. Salah satu contohnya adalah Clostridium tyrobutyricum, yang membentuk asam butirat dan volume gas hidrogen yang besar dengan memfermentasi asam laktat. Gas ini menghancurkan tekstur keju sepenuhnya (“blowing”), selain itu asam butirat juga tidak enak rasanya.

Perlakuan panas yang lebih sering akan mengurangi risiko seperti tersebut di atas, tetapi juga akan merusak sifat-sifat umum keju yang terbuat dari susu, sehingga digunakan cara lain untuk mengurangi bakteri tahan panas.

Secara tradisional, bahan-bahan kimia tertentu telah ditambahkan dalam susu keju sebelum produksi. Hal ini untuk mencegah “blowing” dan perkembangan rasa tidak enak yang disebabkan oleh bakteri tahan panas dan pembentuk spora (terutama Clostridium tyrobutyricum). Bahan kimia yang paling sering digunakan adalah sodium nitrat (NaNO3), tetapi pada produksi keju Emmenthal , hidrogen peroksida (H2O2) juga digunakan. Meskipun demikian, karena penggunaan bahan kimia telah banyak dikritik, maka cara mekanis untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang tidak diinginkan telah diadopsi, terutama di negara-negara dimana penggunaan inhibitor kimia dilarang.
Biakan Biang

Biakan biang merupakan faktor penting dalam pembuatan keju; biakan ini memiliki beberapa peran.

Dua tipe utama biakan yang digunakan dalam pembuatan keju:

* biakan mesophilic dengan suhu optimum antara 20 dan 40 °C
* biakan thermophilic yang berkembang sampai suhu 45 °C

Biakan yang paling sering digunakan adalah biakan turunan campuran (mixed-strain), dimana dua atau lebih turunan bakteri mesophilic dan thermophilic berada dalam simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Biakan ini tidak hanya memproduksi asam laktat tetapi juga komponen aroma dan CO2. Karbondioksida sangat penting untuk menciptakan rongga-rongga di tipe keju butiran dan tipe “mata bundar (round-eyed) ”. Contohnya keju Gouda, Manchego dan Tilsiter dari biakan mesophilic dan Emmenthal dan Gruyère dari biakan thermophilic .

Biakan turunan tunggal (single-strain) terutama digunakan ketika obyek dipakai untuk mengembangkan asam dan berkontribusi terhadap degradasi protein, misalnya pada keju Cheddar dan tipe keju yang sejenis.

Tiga sifat biakan biang yang paling penting dalam pembuatan keju yaitu:

* kemampuan memproduksi asam laktat
* kemampuan memecah protein dan, jika memungkinkan,
* kemampuan memproduksi karbondioksida

Tugas utama biakan adalah mengembangkan asam dalam dadih

Ketika susu mengental, sel-sel bakteri terkonsentrasi dalam koagulum dan kemudian dalam keju. Perkembangan asam menurunkan pH yang penting untuk membantu sineresis (kontraksi koagulum disertai dengan pengurangan whey).

Selanjutnya, garam kalsium dan phosphor dilepaskan, yang mempengaruhi konsistensi keju dan membantu meningkatkan kekerasan dadih.

Fungsi penting lain yang dilakukan oleh bakteri pemroduksi asam adalah menekan bakteri yang tahan pasteurisasi atau rekontaminasi bakteri yang membutuhkan laktosa atau tidak bisa mentolerir asam laktat.

Produksi asam laktat berhenti ketika semua laktosa dalam keju (kecuali pada keju tipe lembut) telah terfermentasi. Biasanya fermentasi asam laktat merupakan proses yang relatif cepat. Pada beberapa tipe keju, seperti Cheddar, fermentasi harus lengkap sebelum keju dipres, dan pada tipe lain dalam seminggu.

Jika biakan juga mengandung bakteri pembentuk CO2, pengasaman dadih disertai dengan produksi karbondioksida, melalui aksi bakteri pemfermentasi asam sitrat. Biakan turunan campuran dengan kemampuan mengembangkan CO2 sangat penting untuk produksi keju dengan tekstur lubang-lubang bundar atau seperti bentuk mata yang tidak beraturan. Gas yang berkembang awalnya terlarut dalam fase moisture keju; ketika larutan menjadi jenuh, gas dilepaskan dan membentuk mata-mata. Proses pematangan pada keju keras dan semi-keras merupakan efek kombinasi proteolitik dimana enzim asli dari susu dan dari bakteri dalam biakan, bersama dengan enzim rennet, menyebabkan dekomposisi protein.
Penambahan lain sebelum pembuatan dadih

Kalsium Klorida (CaCl2 )

Jika susu untuk pembuatan keju merupakan kualitas rendah, maka koagulum akan halus. Hal ini menyebabkan hilangnya “ fines ” (kasein) dan lemak, serta sineresis yang buruk selama pembuatan keju.

5-20 gram kalsium klorida per 100 kg susu biasanya cukup untuk mencapai waktu koagulasi yang konstan dan menghasilkan kekerasan koagulum yang cukup. Kelebihan penambahan kalsium klorida bisa membuat koagulum begitu keras sehingga sulit untuk dipotong.

Untuk produksi keju rendah lemak, dan jika secara sah diijinkan, disodium fosfat (Na2PO4), biasanya 10-20 g/kg, bisa kadang-kadang ditambahkan dalam susu sebelum kalsium klorida ditambahkan. Hal ini meningkatkan elastisitas koagulum karena pembentukan koloid kalsium fosfat (Ca3(PO4)2), yang akan memiliki efek hampir sama dengan tetesan lemak susu yang terperangkap dalam dadih.

Karbondioksida (CO2)

Penambahan CO2 adalah salah satu cara untuk memperbaiki kualitas susu keju. Karbondioksida terjadi secara alami dalam susu, tetapi kebanyakan hilang dalam pemrosesan. Penambahan karbondioksida dengan buatan berarti menurunkan pH susu; pH asli biasanya berkurang 0.1 sampai 0.3 unit. Hal ini kemudian akan menghasilkan waktu koagulasi yang lebih singkat. Efek ini bisa digunakan untuk mendapatkan waktu koagulasi yang sama dengan jumlah rennet yang lebih sedikit.

Saltpetre (NaNO3 atau KNO3)

Masalah fermentasi bisa dialami jika susu keju mengandung bakteri asam butirat (Clostridia) dan/atau bakteri coliform.

Saltpetre (sodium atau potassium nitrate) bisa digunakan untuk menghadapi bakteri jenis ini, tetapi dosisnya harus ditentukan secara akurat dengan merujuk pada komposisi susu, proses yang digunakan untuk keju jenis ini, dan lain-lain; karena saltpetre yang terlalu banyak juga akan menghambat pertumbuhan biang. Overdosis saltpetre bisa mempengaruhi pematangan keju atau bahkan menghentikan proses pematangan.

Saltpetre dengan dosis tinggi bisa merubah warna keju, menyebabkan lapisan-lapisan kemerah-merahan dan rasa yang tidak murni. Dosis maksimum yang diijinkan sekitar 30 gram saltpetre per 100 kg susu. Dalam dekade terakhir ini, penggunaan saltpetre dipertanyakan dari sudut pandang kedokteran, dan juga dilarang di beberapa negara.

Bahan-bahan pewarna

Warna keju dalam cakupan yang luas ditentukan oleh warna lemak susu dan melalui variasi musiman. Warna-warna seperti karoten dan orleana , pewarna anatto alami, digunakan untuk mengoreksi variasi musiman di negara-negara dimana pewarnaan diperbolehkan.

Klorofil hijau (pewarna kontras) juga digunakan, contohnya pada keju blueveined, untuk mendapatkan warna “pucat” yang kontras dengan birunya biakan mikroorganisme di keju.
Rennet

Kecuali untuk tipe-tipe keju segar seperti keju cottage dan guarg dimana susunya digumpalkan/dikentalkan terutama oleh asam laktat, semua pembuatan keju tergantung pada formasi dadih oleh aksi rennet atau enzim-enzim sejenis.

Penggumpalan kasein merupakan proses dasar dalam pembuatan keju. Hal ini umumnya dilakukan dengan rennet, tetapi enzim proteolitik yang lain juga bisa digunakan, dan juga pengasaman kasein ke titik iso-elektrik (pH 4.6-4.7).

Prinsip aktif pada rennet adalah enzim yang disebut chymosine , dan penggumpalan terjadi dengan singkat setelah rennet ditambahkan ke dalam susu. Ada beberapa teori tentang mekanisme prosesnya, dan bahkan saat ini hal tersebut tidak dimengerti secara menyeluruh. Bagaimanapun juga, hal ini jelas bahwa proses berjalan dalam beberapa tahapan; secara umum dibedakan sebagai berikut:

* transformasi kasein ke parakasein di bawah pengaruh rennet
* pengendapan parakasein didalam ion-ion kalsium yang ada

Keseluruhan proses ditentukan oleh suhu, keasaman, kandungan kalsium susu, dan juga oleh faktor-faktor lain. Suhu optimum untuk rennet sekitar 40 °C, tetapi dalam praktik biasanya digunakan suhu yang lebih rendah untuk menghindari kekerasan yang berlebihan pada gumpalan.

Rennet diekstrak dari perut anak sapi yang masih muda dan dipasarkan dalam bentuk larutan dengan kekuatan 1:10000 sampai 1:15000, yang berarti bahwa satu bagian rennet bisa mengentalkan 10000 – 15000 bagian susu dalam 40 menit pada 35 °C . Rennet dari bovine (termasuk keluarga sapi) dan babi juga digunakan, sering dikombinasikan dengan rennet anak sapi (50:50, 30:70, dll). Rennet dalam bentuk bubuk biasanya 10 kali kekuatan rennet cair.

Pengganti rennet hewan

Sekitar 50 tahun yang lalu, penelitian dimulai untuk menemukan pengganti rennet hewan. Hal ini dilakukan terutama di India dan Israel karena penolakan para vegetarian untuk menerima keju yang dibuat dengan rennet hewan. Di dunia Muslim, penggunaan rennet babi sudah jelas hukumnya, dimana merupakan alasan penting yang lebih jauh untuk menemukan pengganti yang sesuai. Ketertarikan produk pengganti telah tumbuh lebih luas pada tahun-tahun terakhir karena keterbatasan rennet hewan yang berkualitas bagus.

Ada dua tipe utama pengganti bahan pengental:

* enzim penggumpal dari tanaman
* enzim penggumpal dari mikroorganisme

Penelitian telah menunjukkan bahwa kemampuan penggumpalan pada umumnya baik dengan persiapan yang dibuat dari enzim tanaman. Satu kelemahan adalah bahwa keju sering mengembangkan rasa pahit selama penyimpanan.

Berbagai macam tipe bakteri dan jamur telah diteliti, dan enzim pengentalan yang diproduksi dikenal dalam berbagai macam nama pasaran. Teknologi DNA telah digunakan belakangan ini, dan sebuah rennet DNA dengan karakteristik identik dengan rennet anak sapi saat ini sedang dites secara menyeluruh dengan satu maksud untuk menjamin persetujuan/penerimaan.

Contoh sebuah tong keju konvensional pada tahapan-tahapan yang berbeda :

A : selama pengadukan

B : selama pemotongan

C : selama pengeringan whey

D : selama pengepresan/penekanan

Sumber :

Dairy Processing Handbook , Tetrapak Swedia


Pemotongan gumpalan

Pe-rennet-an atau waktu penggumpalan pada umumnya sekitar 30 menit. Sebelum gumpalan dipotong, sebuah tes sederhana biasanya dilakukan untuk menentukan whey penghilang kualitas. Biasanya, sebuah pisau ditusukkan pada permukaan gumpalan susu dan kemudian ditarik perlahan-lahan ke atas sampai terjadi pecahan yang cukup. Dadih bisa dipertimbangkan siap untuk pemotongan ketika kerusakan seperti gelas pecah/retak dapat diamati. Pemotongan dengan hati-hati memecah dadih sampai ke dalam granule dengan ukuran 3-15 mm, tergantung pada tipe keju. Semakin halus potongan, semakin rendah kandungan air dalam keju yang dihasilkan.
Pra-pengadukan

Segera setelah pemotongan, granule dadih sangat sensitif terhadap perlakuan mekanik, itulah sebabnya pengadukan harus dilakukan dengan lembut, tetapi cukup cepat, untuk menjaga granule tercampur dalam whey. Sedimentasi dadih di dasar tong menyebabkan pembentukan bongkahan-bongkahan. Ini membuat kerusakan pada mekanisme pengadukkan, dimana pasti sangat kuat. Dadih keju rendah lemak cenderung kuat untuk tenggelam di dasar tong, yang berarti bahwa pengadukannya harus lebih sering daripada pengadukan untuk dadih keju tinggi lemak. Bongkahan-bongkahan bisa mempengaruhi tekstur keju, juga menyebabkan hilangnya kasein dalam whey.
Pra-pengeringan whey

Untuk beberapa tipe keju, seperti Gouda dan Edam, diinginkan untuk membersihkan granule dengan jumlah whey yang banyak sehingga panas bisa disuplai dengan penambahan langsung air panas ke dalam campuran dadih dan whey, yang juga dapat merendahkan kandungan laktosa. Beberapa produser juga mengeringkan whey untuk mengurangi konsumsi energi yang dibutuhkan untuk pemanasan dadih secara tidak langsung. Untuk setiap tipe keju, sangat penting bahwa jumlah whey yang sama – biasanya 35%, kadang-kadang sebanyak 50% volume batch – dikeringkan setiap saat.
Pemanasan/Pemasakan/Pembakaran

Perlakuan panas diperlukan selama pembuatan keju untuk mengatur ukuran dan pengasaman dadih. Pertumbuhan bakteri pemroduksi asam dibatasi oleh panas, sehingga digunakan untuk mengatur produksi asam laktat. Selain efek bakteriologi, panas juga mendukung pemadatan dadih disertai dengan pengeluaran whey (sineresis).

Tergantung pada tipe keju, pemanasan bisa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

* Dengan steam di dalam tong/jaket tong saja.
* Dengan steam di dalam jaket dikombinasikan dengan penambahan air panas ke dalam campuran dadih/whey.
* Dengan penambahan air panas ke dalam campuran dadih/whey saja.

Waktu dan suhu untuk pemanasan ditentukan oleh metode pemanasan dan tipe keju. Pemanasan sampai suhu diatas 40 °C, kadang-kadang disebut pemasakan, biasanya dilakukan dalam dua tahap. Pada 37 – 38°C aktivitas bakteri asam laktat mesophilic terhambat, dan pemanasan terhenti untuk mengecek keasaman, setelah itu pemanasan berlanjut sampai suhu akhir yang diinginkan. Diatas 44 °C bakteri mesophilic ternon-aktifkan secara keseluruhan, dan mereka mati pada suhu 52 °C antara 10 dan 20 menit.

Pemanasan melebihi 44 °C biasanya disebut dengan scalding (pembakaran). Beberapa tipe keju, seperti Emmenthal, Gruyère, Parmesan dan Grana, dibakar pada suhu setinggi 50 – 56 °C. Hanya bakteri pemroduksi asam laktat yang paling tahan panas yang bertahan pada suhu ini. Salah satunya adalah Propionibacterium freudenreichii ssp. shermanii , yang sangat penting dalam pembentukan karakter keju Emmenthal.
Pengadukan akhir

Sensitifitas granule dadih menurun selama proses pemanasan dan pengadukan. Lebih banyak whey diteteskan dari granule selama periode pengadukan akhir. Hal ini terutama karena perkembangan asam laktat yang berkesinambungan, juga karena efek mekanis pengadukan.

Durasi pengadukan akhir tergantung pada keasaman yang diinginkan dan kandungan air dalam keju.
Pembersihan akhir whey dan prinsip-prinsip penanganan dadih

Segera setelah keasaman dan kekerasan dadih yang diinginkan telah tercapai – dan dicek oleh produser – sisa whey dibersihkan dari dadih dengan berbagai cara, tergantung pada tipe keju.

Keju dengan tekstur granular

Salah satu cara untuk mengambil whey adalah langsung dari tong keju; hal ini digunakan terutama dengan membuka tong keju secara manual. Setelah pengeringan whey, dadih disekop kedalam cetakan. Keju yang dihasilkan memperoleh tekstur dengan lubang-lubang/mata tidak beraturan, juga disebut tekstur granular, gambar 14.12. Lubang-lubang tersebut terutama terbentuk karena gas karbondioksida yang biasanya berkembang dengan biakan biang LD (Lactococcus lactis, Leuconostoc cremoris dan Lactococcus diacetylactis).

Jika granule-granule dadih terkena udara sebelum dikumpulkan dan dipress, maka mereka tidak menyatu secara lengkap; banyak kantong-kantong udara kecil berada pada bagian dalam keju. Karbondioksida yang terbentuk dan dikeluarkan selama periode pematangan mengisi dan memperbesar kantong-kantong ini secara bertahap. Lubang yang terbentuk dengan cara ini berbentuk tak beraturan.

Whey juga bisa dikeringkan dengan memompa campuran dadih/whey melewati sebuah saringan yang bergetar atau berputar, dimana granule-granule terpisah dari whey dan disalurkan langsung ke dalam cetakan. Keju yang dihasilkan memiliki tekstur granular.

Keju bermata bundar

Bakteri pemroduksi gas, mirip dengan yang disebutkan di atas juga digunakan dalam produksi keju bermata bundar, tetapi prosedurnya agak berbeda.

Menurut metode yang lebih tua, misal untuk produksi keju Emmenthal, dadih dikumpulkan dalam kain-kain keju ketika masih dalam whey dan kemudian ditransfer ke cetakan besar di atas kombinasi meja pengeringan dan pengepresan. Hal ini menghindarkan kontak dadih pada udara sebelum pengumpulan dan pengepresan, yang merupakan faktor penting untuk mendapatkan tekstur yang tepat pada tipe keju yang dimaksud.

Penelitian tentang pembentukan lubang bundar/bermata bundar telah menunjukkan bahwa ketika granule dadih dikumpulkan di bawah permukaan whey, dadih mengandung rongga-rongga mikroskopis. Bakteri biang mengumpul di rongga-rongga kecil yang terisi whey ini. Gas terbentuk ketika mereka mulai tumbuh, awalnya larut dalam cairan, tetapi karena pertumbuhan bakteri berlanjut, terjadi penjenuhan lokal yang menghasilkan formasi lubang-lubang kecil. Selanjutnya, setelah produksi gas telah berhenti karena kekurangan substrat, difusi menjadi proses yang paling penting. Hal ini memperbesar beberapa lubang yang telah relatif besar, sementara lubang-lubang yang paling kecil menghilang. Pembesaran lubang-lubang yang lebih besar dengan mengorbankan yang lebih kecil merupakan salah satu konsekuensi hukum tegangan permukaan, yang menyatakan bahwa diperlukan tekanan gas lebih sedikit untuk memperbesar sebuah lubang besar daripada lubang kecil.

Keju bertekstur tertutup

Tipe keju bertekstur tertutup, dimana Cheddar merupakan contohnya, biasanya dibuat dengan biakan biang yang mengandung bakteri yang tidak menghasilkan gas – biasanya bakteri pemroduksi asam laktat strain tunggal seperti Lactococcus cremonis dan Lactococcus lactis.

Teknik proses spesifik bisa juga menghasilkan pembentukan rongga-rongga yang disebut lubang-lubang mekanik. Jika lubang-lubang dalam keju granular atau bermata bundar memiliki penampakan yang mengkilat, lubang-lubang mekanik memiliki permukaan bagian dalam yang kasar.

Ketika keasaman whey telah mencapai sekitar 0.2 – 0.22% asam laktat (sekitar 2 jam setelah perennetan), whey dikeringkan dan dadih dikenai suatu bentuk penanganan khusus yang disebut chedarring. Setelah semua whey telah dibersihkan, dadih dibiarkan untuk pengasaman lanjutan dan penutupan. Selama periode ini, biasanya 2 – 2.5 jam, dadih dibentuk dalam blok-blok yang dibolak-balik dan ditumpuk.
Perlakuan akhir dadih

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setelah semua whey bebas telah dibersihkan, dadih bisa ditangani dengan berbagai macam cara, antara lain:

1. ditransfer langsung ke cetakan (keju granular)
2. pra-pengepresan ke dalam sebuah blok dan dipotong-potong dengan ukuran yang sesuai untuk ditempatkan dalam cetakan (keju bermata bundar), atau
3. dikirim ke cheddaring , fase terakhir dimana meliputi penggilingan ke dalam kepingan-kepingan yang bisa diasinkan kering dan digelindingkan atau, jika ditujukan untuk keju tipe Pasta Filata , ditransfer tanpa diasinkan ke mesin pemasak-pengulur.

Penekanan (Pengepresan)

Setelah dicetak atau digelindingkan, dadih dikenai penekanan (pengepresan) akhir, dengan tujuan empat sekaligus :

* untuk membantu pengeluaran whey akhir
* untuk memberikan tekstur
* untuk membentuk keju
* untuk memberikan kulit pada keju-keju dengan periode pematangan yang panjang

Laju pengepresan dan tekanan yang dilakukan disesuaikan terhadap setiap jenis keju. Pengepresan seharusnya perlahan-lahan pada mulanya, karena tekanan tinggi yang awal dapat menekan lapisan permukaan dan mengunci kelembaban dalam kantong-kantong di badan keju.
Pengasinan/Penggaraman

Pada keju, seperti pada banyak makanan, garam biasanya berfungsi sebagai bumbu. Tetapi garam memiliki efek-efek penting yang lain, seperti memperlambat aktifitas biang dan proses-proses bakteri yang berkaitan dengan pematangan keju. Pemberian garam ke dalam dadih menyebabkan lebih banyak kelembaban dikeluarkan, baik melalui efek osmotik dan efek penggaraman pada protein. Tekanan osmotik bisa disamakan dengan pembentukan pengisap pada permukaan dadih, menyebabkan kelembaban tertarik keluar.

Dengan beberapa pengecualian, kandungan garam keju adalah 0.5 – 2%. Blue cheese dan varian white pickled cheese (Feta, Domiati), pada umumnya memiliki kandungan garam 3 – 7%.

Pertukaran kalsium dengan sodium dalam paracaseinate yang merupakan hasil dari penggaraman juga memiliki pengaruh positif pada konsistensi keju, yaitu keju menjadi semakin halus/lembut. Secara umum, dadih yang dikenai garam pada pH 5.3 – 5.6 selama 5 – 6 jam setelah penambahan biakan utama, menyebabkan susu tidak mengandung zat-zat penghambat bakteri.

Pengasinan kering

Pengasinan kering bisa dilakukan baik secara manual maupun mekanik. Garam dituangkan secara manual dari sebuah ember atau kontainer yang mengandung jumlah yang cukup, disebarkan secara merata diatas dadih setelah semua whey dibersihkan. Untuk distribusi yang lengkap, dadih diaduk selama 5 – 10 menit.

Ada berbagai macam cara untuk mendistribusikan garam pada dadih secara mekanik. Salah satunya sama dengan yang digunakan untuk dosis garam pada kepingan-kepingan ( chips ) cheddar selama tahap akhir proses melalui mesin cheddaring yang berkelanjutan.

Pengasinan dengan air garam

Ada berbagai macam desain sistem pengasinan dengan air garam, dari yang cukup sederhana sampai ke yang lebih maju secara teknik. Sekalipun demikian, sistem yang paling biasa digunakan adalah menempatkan keju di dalam sebuah kontainer dengan air garam. Kontainer seharusnya ditempatkan dalam sebuah ruangan dingin dengan suhu sekitar 12 – 14 °C.

Sistem pengasinan dengan air garam pada industri

Sumber : Dairy Processing Handbook, Tetrapak Swedia

Kandungan garam pada tipe keju yang berbeda

% garam

* Cottage cheese 0.25 – 1.0
* Emmenthal 0.4 – 1.2
* Gouda 1.5 – 2.2
* Cheddar 1.75 – 1.95
* Limburger 2.5 – 3.5
* Feta 3.5 – 7.0
* Gorgonzola 3.5 – 5.5
* Blue cheeses lain 3.5 – 7.0

Pematangan dan penyimpanan keju

Pematangan

Setelah pendadihan, semua keju, terpisah dari keju segar, melalui serangkaian proses mikrobiologi, biokimia dan karakter fisik.

Perubahan-perubahan ini mengakibatkan laktosa, protein dan lemak menjadi suatu siklus pematangan yang sangat bervariasi antara keju keras, sedang, dan halus/lembut. Perbedaan yang signifikan bahkan terjadi di dalam masing-masing grup ini.

Dekomposisi laktosa

Teknik-teknik yang telah ditemukan untuk membuat jenis-jenis keju yang berbeda selalu ditujukan kearah pengontrolan dan pengaturan pertumbuhan dan aktifitas bakteri asam laktat. Dengan cara ini ada kemungkinan untuk mempengaruhi secara simultan baik level maupun kecepatan fermentasi laktosa. Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dalam proses pembuatan Cheddar, laktosa terfermentasi sebelum dadih digelindingkan. Pada jenis-jenis keju yang lain, fermentasi laktosa sebaiknya dikontrol sedemikian rupa sehingga kebanyakan dekomposisi laktosa terjadi selama pengepresan keju dan, yang terakhir, selama minggu pertama atau mungkin pada dua minggu pertama penyimpanan.

Asam laktat yang diproduksi dinetralisir sampai dalam jumlah yang besar di keju dengan komponen buffering dari susu, dimana kebanyakan yang telah termasuk dalam gumpalan. Asam laktat kemudian hadir dalam bentuk laktat pada keju yang telah lengkap. Pada tahap selanjutnya, laktat memberi substrat yang cocok untuk bakteri asam propionat yang merupakan bagian penting flora mikrobiologi dari Emmenthal, Gruyère dan tipe-tipe keju sejenis.

Disamping asam propionat dan asam asetat, terbentuk karbondioksida dengan jumlah yang signifikan, dimana merupakan penyebab langsung pembentukan mata bundar yang besar pada tipe keju yang disebutkan di atas.

Laktat juga bisa dipecah oleh bakteri asam butirat, jika kondisinya sebaliknya tidak bagus untuk fermentasi ini, dimana terbentuk hidrogen sebagai tambahan asam lemak dan karbondioksida yang volatil tertentu. Fermentasi ini timbul pada tahap akhir, dan hidrogen dapat menyebabkan keju menjadi rusak.

Fermentasi laktosa disebabkan oleh adanya enzim laktase dalam bakteri asam laktat.

Dekomposisi protein

Pematangan keju, terutama keju keras, dicirikan pertama dan terutama oleh dekomposisi protein. Level dekomposisi protein mempengaruhi kualitas keju sampai tingkat yang signifikan, kebanyakan mengenai konsistensi dan rasa. Dekomposisi protein dihasilkan oleh sistem enzim dari

* rennet
* mikroorganisme
* plasmin, suatu enzim pengurai protein

Satu-satunya efek rennet adalah untuk memecah molekul parakasein menjadi polipeptida. Pemecahan pertama oleh rennet membuat kemungkinan dekomposisi kasein yang lebih cepat melalui aksi enzim-enzim bakteri daripada jika enzym-enzym ini harus memecah molekul kasein secara langsung. Pada keju dengan suhu masak yang tinggi, keju yang dibakar seperti Emmenthal dan Parmesan, aktifitas plasmin memainkan peranan pada pemecahan pertama.

Pada keju-keju yang halus-sedang seperti Tilsiter dan Limburger, dua proses pematangan saling terjadi secara paralel, yaitu proses pemasakan normal pada rennet keju keras dan proses pemasakan pada hapusan (bakteri) yang terbentuk di permukaan. Pada proses yang disebutkan terakhir, dekomposisi protein berproses lebih jauh sampai akhirnya ammonia diproduksi sebagai hasil aksi proteolitik yang kuat dari hapusan bakteri.

Penyimpanan

Tujuan penyimpanan adalah untuk membentuk kondisi eksternal yang penting untuk mengontrol siklus pematangan keju sepanjang mungkin. Untuk setiap jenis keju, kombinasi spesifik antara suhu dan kelembaban relatif ( relative humidity atau RH) harus dijaga di dalam ruangan penyimpanan yang berbeda selama masa tahapan-tahapan penyimpanan.

Tipe-tipe keju yang berbeda membutuhkan suhu dan RH yang berbeda dalam ruang penyimpanan. Kondisi iklim merupakan hal yang sangat penting untuk laju pematangan, berat susut, pembentukan kulit dan perkembangan permukaan flora (di Tilsiter, Romadur dan yang lain) – dengan kata lain untuk karakter total keju.

Keju dengan kulit, kebanyakan biasanya tipe keras dan semi-keras, bisa diberi pelapisan emulsi plastik atau parafin atau lapisan lilin. Keju tanpa kulit ditutup dengan plastik film atau kantong plastik yang dapat menyusut.

* Keju-keju golongan Cheddar sering dimatangkan pada suhu rendah, 4-8 °C, dan RH lebih rendah dari 80%, karena mereka biasanya dibungkus dalam plastik film atau kantong dan dikemas dalam karton atau kerangka kayu sebelum dikirim ke toko. Waktu pematangan bisa bervariasi dari beberapa bulan sampai 8 – 10 bulan untuk memuaskan kegemaran konsumen yang beragam.
* Keju-keju seperti Emmenthal mungkin perlu disimpan dalan ruang keju “hijau” pada suhu 8 – 12 °C selama 3 – 4 minggu diikuti dengan penyimpanan di ruang “pemfermentasi” pada suhu 22 – 25 °C selama 6 – 7 minggu. Setelah itu keju disimpan selama beberapa bulan dalam ruang pematangan pada suhu 8 – 12 °C. Kelembaban relatif untuk semua ruangan biasanya 85 – 90%.
* Tipe-tipe keju dengan perlakuan hapusan/olesan ( smear-treated ) – Tilsiter, Havarti dan yang lain – biasanya disimpan dalam ruang pemfermentasi selama 2 minggu pada 14 – 16 °C dan RH sekitar 90%, selama itu permukaan diolesi dengan biakan khusus campuran smear dengan larutan garam. Sekali lapisan smear yang diinginkan telah terbentuk, keju biasanya dipindah ke ruang pematangan pada suhu 10 -12 °C dan RH 90% selama 2 – 3 minggu lagi.
* Keju-keju seperti Gouda dan yang sejenis, bisa disimpan pertama kali untuk beberapa minggu di ruang keju “hijau” pada 10 – 12 °C dan RH sekitar 75%. Setelah itu diikuti dengan periode pematangan sekitar 3 – 4 minggu pada 12 – 18°C dan RH 75 – 80%. Akhirnya keju dipindah ke ruang penyimpanan pada sekitar 10 – 12 °C dan RH sekitar 75%, dimana karakteristik akhir terbentuk.

Angka-angka yang diberikan untuk suhu dan kelembaban relatif, RH, merupakan perkiraan dan bervariasi untuk macam-macam keju yang berbeda dalam grup yang sama.

Referensi

1. Diadopsi dan diringkas dari Dairy Processing Handbook, dikeluarkan oleh TetraPark, Swedia, http://www.tetrapak.com
2. Kosikowski, F.V., and V.V. Mistry. Cheese and Fermented Milk Foods. Volume 1: Origins and Principles . 3rd ed. Westport, Conn.: F.V. Kosikowski, 1997.
3. http://www.nationaldairycouncil.org

Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Setiap negara biasanya mempunyai peraturan tentang keselamatan dan kesehatan keja sendiri-sendiri yang intinya untuk memastikan bahwa setiap karyawan baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di suatu perusahaan berada dalam kondisi aman dan terlindungi. Satu-satunya perusahaan yang tidak terkena peraturan ini adalah perusahaan yang mempekerjakan dirinya sendiri atau keluarga dekatnya. Pada prinsipnya peraturaan keselamatan dan kesehatan kerja didasarkan pada standar umum yang menyatakan , “bahwa setiap perusahaan harus menyediakan bagi masing-masing karyawannya pekerjaan dan tempat bekerja yang bebas dari hal-hal yang diketahui dapat menyebabkan atau diduga dapat menyebabkan kematian atau cacat fisik yang serius bagi pekerjanya”.

Keselamatan kerja dan Hiperkes merupakan lapangan ilmu dan sekaligus praktik dengan pendekatan multidisipliner yang berupaya untuk menerapkan dan mengembangkan teknologi pengendalian dengan tujuan tenaga kerja sehat, selamat, dan produktif, serta dicapainya tingkat keselamatan yang tinggi untuk mencegah kecelakaan.

Beberapa ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan hiperkes dan keselamatan kerja antara lain:

1. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. “Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, dan pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama”.
2. Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini mengatur tentang keselamatan kerja di segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Di dalam peraturan ini tercakup tentang ketentuan dan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan, dan penyimpanan bahan, produk teknis, dan alat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. Tujuan umum dari dikeluarkannya undang-undang ini adalah agar setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada di tempat kerja mendapat perlindungan atas keselamatannya, dan setiap sumber-sumber produksi dapat dipakai dan digunakan secara aman dan efisien sehingga akan meningkatkan produksi dan produktifitas kerja.
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor Per-01/MEN/1979 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Tujuan pelayanan kesehatan kerja adalah:
1. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan pekerjaanya.
2. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja.
3. Meningkatkan kesehata badan, kondisi mental, dan kemapuan fisik tenaga kerja.
4. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita sakit.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor Per-02/MEN/1979 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja meliputi:
1. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja.
2. Pemeriksaan kesehatan berkala
3. Pemeriksaan kesehatan khusus.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor Per-01/MEN/1976 tentang kewajiban latihan Hiperkes bagi dokter perusahaan.
6. Undang-undang nomor 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 03/MEN/1984 tentang mekanisme pengawawan ketenagakerjaan.

Ditulis oleh Suwahono pada 19-01-2010 pada http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-aplikasi/bahan-kimia-beracun-dan-berbahaya/peraturan-keselamatan-dan-kesehatan-kerja/

Sabtu, 24 Juli 2010

Bacillus sporothermodurans

Thirty-eight strains of Bacillus sporothermodurans isolated from ultra-high-temperature (UHT)-treated milk or sterilized milk (UHT isolates) and from animal feed or raw milk (farm isolates) were characterized by automated ribotyping and by repetitive extragenic palindromic (REP)-PCR fingerprinting. Tiga puluh delapan strain Bacillus sporothermodurans terisolasi dari suhu-tinggi-ultra (UHT)-diperlakukan susu atau disterilkan susu (UHT isolat) dan dari pakan ternak atau susu mentah (pertanian isolat) yang ditandai dengan ribotyping otomatis dan berulang palindromic extragenic (REP )-PCR fingerprinting. By investigating the genetic relationships among isolates from these various sources, the relative importance of different contamination sources could be evaluated. Dengan menyelidiki hubungan genetik di antara isolat dari berbagai sumber, kepentingan relatif dari sumber kontaminasi yang berbeda dapat dievaluasi. The results of the separate clustering analyses of the Pvu II and Eco RI ribopatterns and the REP-PCR patterns were largely consistent with each other and revealed the existence of two main clusters; there was one homogeneous group containing all (REP-PCR) or most (ribotyping) of the UHT isolates, and there was a second more diverse group comprising the farm isolates. Hasil analisis pengelompokan terpisah II Pvu dan RI Eco ribopatterns dan pola REP-PCR sebagian besar konsisten satu sama lain dan mengungkapkan adanya dua kelompok utama; ada satu kelompok homogen yang berisi semua (REP-PCR) atau paling (ribotyping) dari UHT isolat, dan ada kelompok yang lebih beragam yang terdiri dari kedua isolat peternakan. A combined three-dimensional analysis of all data showed that three German UHT isolates did not belong to the compact group containing the majority of the UHT isolates. Analisis tiga dimensi gabungan semua data menunjukkan bahwa tiga UHT Jerman isolat tidak termasuk dalam kelompok kompak yang berisi mayoritas UHT isolat. These results demonstrate that B. Hasil ini menunjukkan bahwa B. sporothermodurans is more heterogeneous than previously assumed and that most of the UHT isolates form a genetically distinct subgroup and are capable of producing highly heat-resistant spores. sporothermodurans lebih heterogen dari sebelumnya diasumsikan dan bahwa sebagian besar UHT isolat membentuk sub-kelompok genetik yang berbeda dan mampu memproduksi spora tahan panas tinggi. The close genetic relationship of these UHT isolates suggests a clonal origin of a few predominant strains of B. Hubungan genetik dekat UHT isolat ini menunjukkan sumber berasal dari klon dari beberapa strain utama B. sporothermodurans that can be found in UHT-treated or sterilized milk products. sporothermodurans yang dapat ditemukan di UHT-diperlakukan atau disterilkan produk susu.
• OTHER SECTIONS▼ BAGIAN LAINNYA ▼
O ABSTRACT ABSTRAK
O MATERIALS AND METHODS BAHAN DAN METODE
O RESULTS HASIL
O DISCUSSION DISKUSI
O REFERENCES DAFTAR PUSTAKA
Mesophilic aerobic sporeformers with extremely high heat resistance were first detected in ultra-high-temperature (UHT)-treated milk from southern Europe in 1985; later they were also detected in other countries in and outside Europe ( 6 , 8 , 17 ). Sporeformers aerobik mesofilik dengan ketahanan panas yang sangat tinggi pertama kali terdeteksi pada suhu-tinggi-ultra (UHT)-diperlakukan susu dari Eropa Selatan pada tahun 1985, kemudian mereka juga terdeteksi di negara-negara lain di dalam dan di luar Eropa ( 6 , 8 , 17 ). These sporeformers belonged to the genus Bacillus and were recently classified as a new species, Bacillus sporothermodurans ( 20 ). Sporeformers ini berasal dari Bacillus genus dan baru-baru ini diklasifikasikan sebagai spesies baru, Bacillus sporothermodurans ( 20 ).
According to its original description ( 20 ), an important characteristic of B. Menurut deskripsi asli ( 20 ), sebuah ciri penting B. sporothermodurans is its ability to produce highly heat-resistant spores (HRS) that may survive sterilization (115 to 120°C for 15 to 20 min) or UHT treatment (135 to 142°C for a few seconds). sporothermodurans adalah kemampuannya untuk menghasilkan spora tahan panas tinggi (HRS) yang dapat bertahan hidup sterilisasi (115 sampai 120 ° C selama 15 sampai 20 menit) atau perlakuan UHT (135-142 ° C selama beberapa detik). Huemer et al. Huemer et al. ( 16 ) found D values at 140°C that varied between 3.4 and 7.9 s and z values that varied between 13.1 and 14.2°C for spore preparations from the original stock culture, but they also observed a significant decrease in the heat resistance after multiple laboratory culture passages. ( 16 ) menemukan nilai D pada 140 ° C yang bervariasi antara 3,4 dan 7,9 s dan z nilai-nilai yang bervariasi antara 13,1 dan 14,2 ° C untuk persiapan spora dari budaya saham asli, tetapi mereka juga mengamati penurunan yang signifikan dalam perlawanan panas setelah beberapa laboratorium bagian budaya. Surviving spores of B. Penggabungan spora B. sporothermodurans can germinate and multiply in products to a maximal concentration of ca. sporothermodurans dapat tumbuh dan berkembang biak dalam produk untuk konsentrasi maksimal ca. 10 5 cells/ml. 10 5 sel / ml. Although the vegetative cells are not pathogenic ( 9 , 10 ) and do not cause significant visual or taste deviations, their presence in sterilized and UHT-treated products is considered undesirable, as such products do not meet the legal requirements established by the European Union ( 1 ). Meskipun sel vegetatif tidak patogen ( 9 , 10 ) dan tidak menyebabkan penyimpangan visual atau rasa yang signifikan, kehadiran mereka di steril dan yang diobati dengan produk UHT dianggap tidak diinginkan, karena produk tersebut tidak memenuhi persyaratan hukum yang didirikan oleh Uni Eropa ( 1 ).
For detection and identification of B. Untuk deteksi dan identifikasi B. sporothermodurans in raw and consumer milk, a PCR-based method, now called HRS-PCR ( 22 ), was developed by Herman et al. sporothermodurans dalam susu mentah dan konsumen, sebuah metode berbasis PCR, sekarang disebut HRS-PCR ( 22 ), dikembangkan oleh Herman et al. ( 13 ). ( 13 ). Several molecular methods have been used successfully to differentiate and characterize B. Beberapa metode molekuler telah berhasil digunakan untuk membedakan dan mencirikan B. sporothermodurans strains, including PCR methods like random amplified polymorphic DNA analysis, repetitive extragenic palindromic (REP)-PCR, and 16S ribosomal DNA (rDNA) sequence analysis ( 12 , 18 , 20 ). sporothermodurans strain, termasuk metode PCR seperti analisis amplifikasi DNA polimorfik acak, palindromic extragenic berulang (REP)-PCR, dan 16S ribosomal DNA (rDNA) analisis urutan ( 12 , 18 , 20 ). All these techniques showed that the different B. Semua ini menunjukkan bahwa teknik yang berbeda B. sporothermodurans strains isolated so far from European UHT-treated and sterilized milk are phylogenetically very closely related, forming the so-called HRS clone, named after the initial description of this highly heat-resistant spore-forming organism ( 8 ). sporothermodurans strain terisolasi begitu jauh dari Eropa UHT-diperlakukan dan disterilkan susu phylogenetically sangat erat kaitannya, disebut HRS membentuk klon-jadi, yaitu setelah deskripsi awal ini membentuk spora-organisme yang sangat tahan panas ( 8 ). Recently, B. Baru-baru ini, B. sporothermodurans strains have also been isolated from raw milk and from animal feed ( 4 , 22 , 24 ). sporothermodurans strain juga telah diisolasi dari susu mentah dan dari pakan ternak ( 4 , 22 , 24 ). The majority of these farm isolates reacted negatively in the HRS-PCR of Herman et al. Sebagian lahan tersebut isolat bereaksi negatif di HRS-PCR Herman et al. ( 13 ) but could be assigned to B. ( 13 ), tetapi dapat diberikan ke B. sporothermodurans by a polyphasic approach and/or a new 16S rDNA-based specific PCR identification test ( 22 ). sporothermodurans dengan pendekatan polyphasic dan / atau 16S baru tertentu tes PCR identifikasi berbasis rDNA ( 22 ).
The purpose of the present study was to evaluate the genetic diversity of B. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keragaman genetik B. sporothermodurans isolates by using two molecular typing techniques (ribotyping and REP-PCR) targeted at different genomic sites as recommended by different authors ( 14 , 25 ). sporothermodurans isolat dengan menggunakan teknik mengetik dua molekul (ribotyping dan REP-PCR) ditargetkan pada situs genom yang berbeda seperti yang direkomendasikan oleh penulis yang berbeda ( 14 , 25 ). REP-PCR has been recognized to be highly discriminatory for the differentiation of many bacterial species, including Escherichia coli and B. REP-PCR telah diakui menjadi sangat diskriminatif untuk diferensiasi spesies bakteri, termasuk Escherichia coli dan B. sporothermodurans ( 5 , 11 , 12 , 18 ). sporothermodurans ( 5 , 11 , 12 , 18 ). In addition, ribotyping has proved to be useful for differentiation at the subspecies level, as demonstrated for species like Pseudomonas aeruginosa , Vibrio cholerae , Listeria monocytogenes , and Clostridium botulinum ( 3 , 7 , 19 , 23 ). Selain itu, ribotyping telah terbukti berguna untuk diferensiasi pada tingkat subspesies, seperti yang ditunjukkan untuk spesies seperti aeruginosa Pseudomonas, Vibrio cholerae, Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum dan ( 3 , 7 , 19 , 23 ). Both DNA fingerprinting techniques were applied to B. DNA fingerprinting Kedua teknik yang diterapkan ke B. sporothermodurans strains isolated from a wide range of geographic areas, including Asia, South America, and Europe, and from different sources, as outlined above. sporothermodurans strain terisolasi dari berbagai wilayah geografis, termasuk Asia, Amerika Selatan, dan Eropa, dan dari sumber yang berbeda, seperti diuraikan di atas. The resulting genetic relationships found among the strains should allow workers to determine the relative contributions of different possible contamination sources. Hubungan genetik yang dihasilkan ditemukan di antara strain harus memungkinkan pekerja untuk menentukan kontribusi relatif dari berbagai sumber kontaminasi mungkin.
• OTHER SECTIONS▼ BAGIAN LAINNYA ▼
O ABSTRACT ABSTRAK
O MATERIALS AND METHODS BAHAN DAN METODE
O RESULTS HASIL
O DISCUSSION DISKUSI
O REFERENCES DAFTAR PUSTAKA
MATERIALS AND METHODS BAHAN DAN METODE
Bacterial strains used and isolation of new B. Bakteri yang digunakan strain dan isolasi B. baru sporothermodurans strains. sporothermodurans strain.
The isolates from European UHT-treated and sterilized milk and the isolates from raw milk and animal feed (feed concentrate, silage, pulp, soy) have been described previously ( 12 , 22 , 24 ). Isolat dari UHT Eropa-diperlakukan dan disterilkan susu dan isolat dari susu mentah dan pakan ternak (pakan konsentrat, silase, pulp, kedelai) telah dijelaskan sebelumnya ( 12 , 22 , 24 ). A total of 2,113 UHT-treated or sterilized milk samples were collected worldwide (Pakistan, Ecuador, Dominican Republic, Mexico) in local supermarkets and factories during the second half of 1998. Sebanyak 2.113 UHT-diperlakukan atau disterilkan sampel susu dikumpulkan di seluruh dunia (Pakistan, Ekuador, Republik Dominika, Meksiko) di supermarket lokal dan pabrik-pabrik pada paruh kedua 1998. The products were incubated for 5 to 7 days at 37°C, and 0.1 ml of each product was streaked onto brain heart infusion broth (Oxoid) supplemented with vitamin B 12 (1 mg/liter; Sigma) and bacteriological agar 1 (15 g/liter; Oxoid) (pH 6.8). Produk diinkubasi selama 5 sampai 7 hari pada suhu 37 ° C, dan 0,1 ml masing-masing produk infus melesat ke jantung kaldu otak (Oxoid) ditambah dengan vitamin (B 1 mg / liter; Sigma) dan bakteriologis agar 12 1 (15 g / liter; Oxoid) (pH 6.8). Petri dishes were incubated at 37°C for 2 days. cawan Petri diinkubasi pada suhu 37 ° C selama 2 hari. Typical colonies of B. Khas koloni B. sporothermodurans ( 20 ) and also spores were identified by phase-contrast microscopy and retained. sporothermodurans ( 20 ) serta spora diidentifikasi dengan mikroskop fase kontras dan ditahan. All of the strains are listed in Table 1 , including B. Semua strain tercantum dalam Tabel 1 , termasuk B. sporothermodurans type strain MB 581 (= DSMZ 10599) and a raw milk isolate of Bacillus oleronius , the closest phylogenetic neighbor of B. sporothermodurans jenis strain MB 581 (= DSMZ 10.599) dan susu mentah oleronius isolat Bacillus, tetangga terdekat filogenetik B. sporothermodurans ( 4 , 10 , 22 ). sporothermodurans ( 4 , 10 , 22 ).

TABLE 1. TABEL 1.
B. sporothermodurans and B. B. sporothermodurans dan B. oleronius strains used in this study and their origins a oleronius strain yang digunakan dalam penelitian ini dan asal-usul mereka yang
Identification of presumptive B. Identifikasi B. dugaan sporothermodurans isolates. sporothermodurans isolat.
Presumptive B. Dugaan B. sporothermodurans colonies were identified by two PCR methods. sporothermodurans koloni diidentifikasi dengan dua metode PCR. The first method, HRS-PCR ( 22 ) performed with sequences obtained by subtractive hybridization, was performed with the primers SH2-F1 (5′GATTCAGGCAGAATGTAGCA3′) and SH2-R (5′TTTCGCCACTTGATGGTACA3′) (Microsynth AG, Balgach, Switzerland) as described by Herman et al. Metode pertama, HRS-PCR ( 22 ) dilakukan dengan urutan yang diperoleh subtraktif hibridisasi, dilakukan dengan primer SH2-F1 (5'GATTCAGGCAGAATGTAGCA3 ') dan SH2-R (5'TTTCGCCACTTGATGGTACA3') (Microsynth AG, Balgach, Swiss) seperti yang dijelaskan oleh Herman et al. ( 13 ). ( 13 ). In addition, a newly developed primer pair, F2 (5′ACGGCTCAACCGTGGAG3′) and R2 (5′GTAACCTCGCGGTCTA3′), for amplification of a B. Selain itu, pasangan yang baru dikembangkan primer, F2 (5'ACGGCTCAACCGTGGAG3 ') dan R2 (5'GTAACCTCGCGGTCTA3'), untuk amplifikasi dari B. sporothermodurans -specific 16S rDNA fragment was used as described by Scheldeman et al. spesifik 16S rDNA fragmen-sporothermodurans digunakan seperti yang dijelaskan oleh Scheldeman et al. ( 22 ). ( 22 ).
Automated ribotyping and data analysis. Otomatis ribotyping dan analisis data.
All B. Semua B. sporothermodurans isolates were processed at least two times by using the automated microbial characterization system (RiboPrinter; Qualicon, Inc., Wilmington, Del.) and restriction enzymes Eco RI and Pvu II (Qualicon) as described elsewhere ( 2 ). sporothermodurans isolat diproses setidaknya dua kali dengan menggunakan sistem karakterisasi mikroba otomatis (RiboPrinter; Qualicon, Inc, Wilmington, Del) dan enzim restriksi Eco RI dan Pvu II (Qualicon) seperti yang dijelaskan di tempat lain ( 2 ). All ribopatterns with similarity coefficients higher than 0.93 were considered identical by the RiboPrinter software and were grouped together based on the position and intensity of the bands to form a ribogroup (a set of isolates with indistinguishable ribotypes). Semua ribopatterns dengan koefisien kesamaan lebih tinggi dari 0,93 dianggap identik dengan perangkat lunak RiboPrinter dan dikelompokkan berdasarkan posisi dan intensitas dari band untuk membentuk ribogroup (satu set isolat dengan ribotypes dibedakan). Further refinement of the automated ribogrouping was performed by visual evaluation of closely related ribopatterns, which resulted in merger or separation of ribogroups. perbaikan lebih lanjut dari ribogrouping otomatis dilakukan oleh evaluasi visual ribopatterns erat terkait, yang mengakibatkan penggabungan atau pemisahan ribogroups.
REP-PCR. REP-PCR.
Total genomic DNA from purified B. Total genom DNA dari B. dimurnikan sporothermodurans strains was isolated by using the method of Pitcher et al. sporothermodurans strain diisolasi dengan menggunakan metode Pitcher et al. ( 21 ), as slightly modified by Heyndrickx et al. ( 21 ), dengan sedikit dimodifikasi oleh Heyndrickx et al. ( 15 ), and the DNA concentration was determined with a spectrophotometer. ( 15 ), dan konsentrasi DNA ditentukan dengan spektrofotometer. Total genomic DNA (25 ng) was used as the template in REP-PCR performed with primers REP1R-I (5′ IIIICGICGICATCIGGC3′) and REP2-I (5′ICGICTTATCIGGCCTAC3′) (Isogen Bioscience bv), and the REP fragments were separated by denaturing polyacrylamide gel electrophoresis and silver stained as described by Herman et al. Total genomik DNA (25 ng) digunakan sebagai template di REP-PCR dilakukan dengan primer REP1R-I (5 'IIIICGICGICATCIGGC3') dan REP2-I (5'ICGICTTATCIGGCCTAC3 ') (Isogen Biosains bv), dan fragmen REP dipisahkan dengan dipisahkan oleh medan listrik gel poliakrilamida dan perak ternoda seperti yang dijelaskan oleh Herman et al. ( 12 ). ( 12 ). All strains were analyzed in the same REP-PCR experiment and on the same gel to minimize possible variations in patterns caused by experimentation ( 12 ). Semua strain dianalisis dalam percobaan REP-PCR yang sama dan pada gel yang sama untuk meminimalkan kemungkinan variasi dalam pola-pola yang disebabkan oleh eksperimen ( 12 ). A REP-PCR pattern could not be obtained for strain MB 359. Pola REP-PCR tidak dapat diperoleh untuk strain 359 MB.
Banding pattern data analyses. Banding pola analisis data.
Digitized images of the gel obtained with the RiboPrinter were converted with the GelConvert program (Qualicon) and were analyzed by the unweighted pair group arithmetic (UPGMA) clustering algorithm computed by the GelCompar software (version 4.1; Applied Maths, Sint-Martens-Latem, Belgium) by using the Pearson product moment correlation coefficient with optimization of 1%. gambar revi dari gel diperoleh dengan RiboPrinter dikonversi dengan program GelConvert (Qualicon) dan dianalisis oleh kelompok aritmatika pasangan tertimbang (UPGMA) clustering algoritma dihitung oleh perangkat lunak GelCompar (versi 4.1; Terapan Matematika, Sint-Martens-Latem, Belgia) dengan menggunakan produk saat koefisien korelasi Pearson dengan optimasi dari 1%. REP-PCR patterns on the silver-stained gels were scanned with a flat-bed scanner (Agfa SnapScan1236 S ; Agfa-Gevaert NV, Mortsel, Belgium), and images were analyzed by UPGMA clustering computed by BioNumerics software (version 2.0; Applied Maths) by using the Pearson product moment correlation coefficient with optimization of 1%. REP-PCR pola pada bernoda gel perak telah discan dengan scanner flat tempat tidur (Agfa SnapScan1236 S; Agfa-Gevaert NV, Mortsel, Belgia), dan gambar dianalisis dengan clustering UPGMA dihitung oleh perangkat lunak BioNumerics (versi 2.0; Matematika Terapan ) dengan menggunakan produk saat koefisien korelasi Pearson dengan optimasi dari 1%. Normalized REP-patterns were also visually classified in REP groups. REP-pola normalisasi juga visual diklasifikasikan dalam kelompok REP.
Combined clustering of the two ribopatterns and the REP-PCR profiles was performed by using the BioNumerics 2.0 software. Gabungan clustering dari dua ribopatterns dan profil REP-PCR dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak BioNumerics 2,0. To do this, the converted ribopatterns obtained with Eco RI or Pvu II were introduced into the BioNumerics 2.0 program, and each pattern was linked with the strain database. Untuk melakukan ini, ribopatterns dikonversi diperoleh dengan Eco RI atau Pvu II diperkenalkan ke dalam program 2,0 BioNumerics, dan pola masing-masing dihubungkan dengan database strain. Combination of the three experiment types was implemented in such a way that the typing methods used (REP-PCR, Eco RI riboprinting, and Pvu II riboprinting) were weighted 2:1:1. Kombinasi dari tiga jenis percobaan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga metode mengetik yang digunakan (REP-PCR, Eco RI riboprinting, dan Pvu riboprinting II) 02:01:01 tertimbang. For UPGMA clustering for this combination of experiment types, the same cluster analysis settings that were used for each experiment type separately were used (ie, Pearson product moment correlation coefficient). Untuk UPGMA clustering untuk kombinasi jenis percobaan, analisis pengaturan yang sama cluster yang digunakan untuk setiap jenis percobaan digunakan secara terpisah (misalnya, produk saat koefisien korelasi Pearson). Finally, multidimensional scaling of the combined cluster analysis allowed visually interpretable grouping of the strains in a three-dimensional plot. Akhirnya, skala multidimensi analisis cluster gabungan diperbolehkan diinterpretasi secara visual pengelompokan strain dalam rencana tiga-dimensi.
• OTHER SECTIONS▼ BAGIAN LAINNYA ▼
O ABSTRACT ABSTRAK
O MATERIALS AND METHODS BAHAN DAN METODE
O RESULTS HASIL
O DISCUSSION DISKUSI
O REFERENCES DAFTAR PUSTAKA
RESULTS HASIL
Identification. Identifikasi.
Fourteen new isolates of B. Empat belas isolat baru B. sporothermodurans were obtained in this study from contaminated UHT-treated or sterilized consumer milk (designated UHT isolates) from the Dominican Republic, Ecuador, Pakistan, and Mexico. sporothermodurans diperoleh dalam penelitian ini dari terkontaminasi UHT-diperlakukan atau disterilkan konsumen susu (UHT ditunjuk isolat) dari Republik Dominika, Ekuador, Pakistan, dan Meksiko. These strains reacted positively as determined by the two PCR-based methods used for identification of B. Strain ini bereaksi positif sebagaimana ditentukan oleh kedua-berdasarkan metode PCR yang digunakan untuk identifikasi B. sporothermodurans (Table 1 ), the HRS-PCR developed by Herman et al. sporothermodurans (Tabel 1 ), HRS-PCR yang dikembangkan oleh Herman et al. ( 13 ) and the recently developed PCR based on specific 16S rDNA sequence stretches described by Scheldeman et al. ( 13 ) dan PCR baru-baru ini dikembangkan berdasarkan urutan 16S spesifik rDNA peregangan yang dijelaskan oleh Scheldeman et al. ( 22 ). ( 22 ). The reaction pattern was similar to that for the 11 European isolates from UHT-treated and sterilized milk listed in Table 1 and reported by Scheldeman et al. Pola reaksi ini mirip dengan Eropa untuk 11 isolat dari UHT-diperlakukan dan susu disterilkan tercantum pada Tabel 1 dan dilaporkan oleh Scheldeman et al. ( 22 ). ( 22 ). However, in the previous study, it was found that 11 of the 13 isolates from raw milk or animal feed (feed concentrate, soy, silage) (designated farm isolates) (Table 1 ) reacted negatively in the HRS-PCR and positively in the 16S rDNA-based PCR; only two farm strains included in the present study (MB 1501 and MB 1505) reacted positively in both PCR tests (Table 1 ). Namun, dalam studi sebelumnya, ditemukan bahwa 11 dari 13 isolat dari susu mentah atau pakan ternak (pakan konsentrat, kedelai, silase) (ditunjuk pertanian isolat) (Tabel 1 ) bereaksi negatif dalam HRS-PCR dan positif dalam 16S berbasis PCR rDNA; hanya dua jenis peternakan yang termasuk dalam studi ini (MB 1501 dan 1505 MB) bereaksi positif dalam kedua tes PCR (Tabel 1 ).
Ribotyping. Ribotyping.
Molecular characterization of B. Karakterisasi molekuler B. sporothermodurans strains and the B. sporothermodurans strain dan B. oleronius reference strain was performed by automated ribotyping by using the restriction enzymes Pvu II and Eco RI. strain referensi oleronius dilakukan oleh ribotyping otomatis dengan menggunakan enzim restriksi Pvu II dan Eco RI. Sixteen distinct major ribogroups were determined with Pvu II (ribogroups A1 to A16) (Table 1 and Fig. Fig.1). 1 Enam belas ribogroups utama yang berbeda ditentukan dengan Pvu II (ribogroups A1 A16) (Tabel 1 dan Gambar. Gambar 1). 1 ). ). The three largest ribogroups, ribogroups A1, A5, and A13, contained 21, 2, and 2 strains, respectively (Tables 1 and 2 ), whereas the other 13 ribogroups were each represented by a single strain. Tiga ribogroups terbesar, ribogroups A1, A5, dan A13, berisi 21, 2, dan 2 strain, masing-masing (Tabel 1 dan 2 ), sedangkan 13 lainnya ribogroups masing-masing diwakili oleh strain tunggal. Based on the cluster analysis performed with the ribopatterns of 39 strains (including B. sporothermodurans type strain MB 581 and the reference strain of B. oleronius ), a dendrogram was constructed (Fig. (Fig.1). 1 Berdasarkan analisis cluster dilakukan dengan ribopatterns 39 strain (termasuk jenis strain B. sporothermodurans 581 MB dan strain referensi dari oleronius B.), dendrogram ini dibuat (Gbr. (Gambar 1). 1 ). ). Two main clusters, clusters P1 and P2, were discerned visually and by cluster analysis at similarity levels of 91 and 71%, respectively. Dua kelompok utama, kelompok P1 dan P2, yang dibedakan secara visual dan analisis cluster pada tingkat kesamaan 91 dan 71%, masing-masing. These two clusters exhibited 58% similarity to each other. Kedua kelompok menunjukkan 58% kemiripan satu sama lain. The majority of the UHT isolates (21 of 25 isolates) were found in cluster P1, which included one ribogroup. Mayoritas UHT isolat (21 dari 25 isolat) ditemukan di cluster P1, termasuk satu ribogroup. These UHT isolates appeared to be closely related to each other, as reflected by the high similarity values (91 to 99%). UHT isolat ini tampaknya berkaitan erat satu sama lain, seperti yang tercermin oleh nilai-nilai kesamaan yang tinggi (91 sampai 99%). All these isolates produced a typical pattern consisting of at least seven conserved bands at ca. Semua isolat menghasilkan pola khas yang terdiri dari setidaknya tujuh band dilestarikan di ca. 7.2, 8.3, 9.3, 11.0, 13.0, 25.0, and 45.0 kbp. 7.2, 8.3, 9.3, 11,0, 13,0, 25,0, dan 45,0 KBP. In cluster P2, which was defined at a lower similarity level (71%), 14 different ribogroups were found; there were typical bands at ca. Dalam P2 cluster, yang didefinisikan pada tingkat kesamaan yang lebih rendah (71%), 14 ribogroups berbeda ditemukan; ada band khas di ca. 5.4, 7.1, 7.5, 8.5, 9.0, 11.0, and 25.0 kbp in the patterns of most of the strains, while 13.0- and 45.0-kbp fragments were missing compared to the patterns of cluster P1 strains. 5.4, 7.1, 7.5, 8.5, 9.0, 11,0, dan 25,0 KBP dalam pola sebagian besar strain, sementara 13,0 dan 45,0-KBP fragmen yang hilang dibandingkan dengan pola cluster strain P1. Remarkably, UHT strains MB 372, MB 373, and MB 374, all of which originated from Germany, had clearly distinct patterns and were members of cluster P2 along with all 13 farm isolates. Hebatnya, strain UHT 372 MB, 373 MB, dan 374 MB, yang semuanya berasal dari Jerman, memiliki pola yang jelas berbeda dan anggota P2 cluster bersama dengan semua 13 isolat pertanian. Type strain MB 581 was located separately between clusters P1 and P2. 581 MB jenis strain terletak secara terpisah antara kelompok P1 dan P2.


FIG. FIG. 1. 1.
Dendrogram of 38 strains of B. Dendrogram dari 38 strain B. sporothermodurans and one strain of B. sporothermodurans dan satu strain B. oleronius obtained after restriction with Pvu II. oleronius diperoleh setelah restriksi Pvu II. The strain designations correspond to those shown in Table 1 . Regangan sebutan sesuai dengan yang ditunjukkan pada Tabel 1 . The scale bar indicates the percentage of similarity. Skala bar menunjukkan persentase kesamaan.

TABLE 2. TABEL 2.
Relationships between the different most important Pvu II and Eco RI ribogroups a Hubungan antara penting Pvu II paling berbeda dan RI Eco sebuah ribogroups
With Eco RI, 20 distinct ribogroups were found, and these ribogroups were designated ribogroups B1 to B20 (Table 1 and Fig. Fig.2). 2 Dengan Eco RI, 20 ribogroups berbeda ditemukan, dan ini adalah yang ditunjuk ribogroups ribogroups B1 menjadi B20 (Tabel 1 dan Gambar. Gbr.2). 2 ). ). Ribogroups B1 and B3 each contained nine strains, while two strains belonged to ribogroups B9 and B17. Ribogroups B1 dan B3 masing-masing berisi sembilan strain, sementara dua strain milik ribogroups B9 dan B17. Sixteen ribogroups were represented by a single strain. Enam belas ribogroups diwakili oleh strain tunggal. All 38 strains of B. Semua 38 strain B. sporothermodurans produced at least five typical conserved bands, at ca. sporothermodurans memproduksi paling sedikit lima band dilestarikan khas, di ca. 2.2, 2.9, 3.8, 7.0, and 8.3 kbp. 2,2, 2,9, 3,8, 7,0, dan 8,3 KBP. The dendrogram constructed with the Eco RI-generated patterns showed high degrees of similarity (ca. 80% without strain MB 582) among the B. The dendrogram dibangun dengan pola yang dihasilkan RI-Eco menunjukkan kesamaan derajat tinggi (sekitar 80% tanpa regangan 582 MB) di antara B. sporothermodurans strains (Fig. (Fig.2). 2 sporothermodurans strain (Gbr. (Gbr.2). 2 ). ). Despite the lower diversity, two main clusters, designated clusters E1 and E2, were discerned visually and by cluster analysis at similarity levels of 81 and 86%, respectively. Meskipun keragaman lebih rendah, dua kelompok utama, ditunjuk cluster E1 dan E2, yang dibedakan secara visual dan analisis cluster pada tingkat kesamaan 81 dan 86%, masing-masing. Interestingly, cluster E1 encompassed 24 UHT isolates but did not contain UHT strain MB 582, whereas cluster E2 contained all 13 farm isolates. Menariknya, mencakup 24 cluster E1 UHT isolat tetapi tidak mengandung strain UHT 582 MB, sedangkan E2 cluster berisi semua 13 isolat pertanian. Compared to the ribopatterns of the UHT isolates, most of the ribopatterns in cluster E2 showed polymorphisms in the region between 4.0 and 6.0 kbp, and one or two extra bands were present. Dibandingkan dengan ribopatterns dari UHT isolat, sebagian besar ribopatterns di E2 cluster menunjukkan polimorfisme di wilayah antara 4,0 dan 6,0 KBP, dan satu atau dua band ekstra hadir. The farm isolates were scattered in 11 distinct ribogroups, confirming the genetic variability observed with the Pvu II-generated patterns. Pertanian isolat tersebar di 11 ribogroups berbeda, yang menyatakan variabilitas genetik diamati dengan pola yang dihasilkan II Pvu. UHT strain MB 582 (= TP1248) formed a separate ribogroup, ribogroup B19. UHT strain 582 MB (= TP1248) membentuk ribogroup terpisah, ribogroup B19. This result is in agreement with the previous finding of Pettersson et al. Hasil ini sesuai dengan temuan sebelumnya et al Pettersson. ( 20 ), who described strain TP1248 as a strain that is slightly atypical based on ribotyping analysis. ( 20 ), yang dijelaskan strain TP1248 sebagai strain yang sedikit atipikal berdasarkan analisis ribotyping.


FIG. FIG. 2. 2.
Dendrogram of 38 strains of B. Dendrogram dari 38 strain B. sporothermodurans and one strain of B. sporothermodurans dan satu strain B. oleronius obtained after restriction with Eco RI. oleronius diperoleh setelah restriksi Eco RI. The strain designations correspond to those shown in Table 1 . Regangan sebutan sesuai dengan yang ditunjukkan pada Tabel 1 . The scale bar indicates the percentage of similarity. Skala bar menunjukkan persentase kesamaan.
As illustrated in Table 2 , the combination of restriction enzymes Pvu II and Eco RI enabled a finer level of discrimination, as illustrated for strains MB 1497 and MB 1501. Seperti yang digambarkan dalam Tabel 2 , kombinasi pembatasan enzim Pvu II dan Eco RI diaktifkan tingkat diskriminasi yang lebih baik, seperti yang digambarkan untuk strain MB MB 1497 dan 1501. These strains, which constituted a single ribogroup (ribogroup A5) when Pvu II was used, could be differentiated from each other with Eco RI (ribogroups B20 and B17). Strain ini, yang merupakan sebuah ribogroup tunggal (ribogroup A5) ketika Pvu II digunakan, dapat dibedakan satu sama lain dengan Eco RI (ribogroups B20 dan B17). Conversely, strains MB 1317 and MB 1494, which were indistinguishable on the basis of typing with Eco RI (ribogroup B9), could be discriminated with Pvu II (ribogroups A10 and A8). Sebaliknya, strain dan MB 1317 MB 1494, yang dibedakan berdasarkan mengetik dengan Eco RI (B9 ribogroup), dapat dibedakan dengan Pvu II (ribogroups A10 dan A8). Also, strain TP1248 could be separated from all other strains only when Eco RI was used. Selain itu, strain TP1248 dapat dipisahkan dari semua jenis lainnya hanya ketika Eco RI digunakan. All the Pvu II ribogroups could be further differentiated with Eco RI and vice versa. Semua Pvu II ribogroups lebih lanjut bisa dibedakan dengan Eco RI dan sebaliknya. However, the relationship between different Pvu II and Eco RI ribogroups in some instances was rather complex. Namun, hubungan antara II Pvu berbeda dan Eco RI ribogroups dalam beberapa kasus agak rumit.
B. oleronius MB 397 was ribotyped as an outlier. oleronius B. 397 MB adalah ribotyped sebagai suatu outlier. The Pvu II- or Eco RI-generated ribopatterns of B. The Pvu II-atau Eco RI-dihasilkan ribopatterns B. oleronius MB 397 were clearly different from those obtained with all the B. oleronius 397 MB itu jelas berbeda dari yang diperoleh dengan semua B. sporothermodurans strains (similarity levels, 40 and 57%, respectively). strain sporothermodurans (tingkat kesamaan, 40 dan 57%, masing-masing).
REP-PCR. REP-PCR.
Molecular characterization of B. Karakterisasi molekuler B. sporothermodurans strains and the B. sporothermodurans strain dan B. oleronius reference strain was performed by REP-PCR by using high-resolution separation of the bands by polyacrylamide gel electrophoresis and silver staining. strain referensi oleronius dilakukan oleh REP-PCR dengan menggunakan resolusi tinggi pemisahan dari band-band dengan elektroforesis gel poliakrilamida dan pewarnaan perak. Fourteen distinct major REP groups were visually determined (REP groups C1 to C14) (Table 1 and Fig. Fig.3). 3 Empat belas REP berbeda besar kelompok visual ditentukan (REP kelompok C1 untuk C14) (Tabel 1 dan Gambar. Gbr.3). 3 ). ). The two largest REP groups, REP groups C1 and C2, contained 3 and 22 strains, respectively (Table 1 ), whereas the other 12 REP groups were each represented by a single strain. Dua kelompok terbesar REP, REP kelompok C1 dan C2, berisi 3 dan 22 strain, masing-masing (Tabel 1 ), sedangkan kelompok 12 REP lainnya masing-masing diwakili oleh strain tunggal. In comparison with B. Dibandingkan dengan B. oleronius , all B. oleronius, semua B. sporothermodurans strains were characterized by a conserved major band at ca. sporothermodurans strain dikarakterisasi oleh sebuah band besar kekal di ca. 1,020 bp. 1.020 pb. Furthermore, strains belonging to REP groups C1 and C2, which contained all UHT isolates and only one farm isolate (MB 1505), were characterized by major conserved bands at ca. Selain itu, strain milik kelompok REP C1 dan C2, yang berisi UHT semua isolat dan hanya satu peternakan isolat (MB 1505), yang ditandai dengan band dilestarikan besar di ca. 875, 730, and 600 bp. 875, 730, dan 600 bp. Remarkably, the German UHT strains, MB 372 to MB 374, belonged to the same REP group, REP group C1, which could be differentiated from REP group C2, which contained the other UHT strains from different countries, by the absence of a major conserved band at ca. Hebatnya, alunan UHT Jerman, MB 374 MB 372 untuk, milik kelompok REP sama, REP kelompok C1, yang bisa dibedakan dari kelompok C2 REP, yang berisi jenis UHT lainnya dari berbagai negara, dengan tidak adanya utama kekal band di ca. 850 bp in REP group C2. 850 pb di grup C2 REP. The largest REP group (REP group C2) could be further subdivided into four subgroups on the basis of minor polymorphisms (presence or absence of minor bands at various molecular weights). REP kelompok terbesar (REP C2 kelompok) yang bisa lebih jauh dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan polimorfisme minor (ada atau tidak adanya band kecil di berbagai berat molekul). These four subgroups, subgroups C2a to C2d (Table 1 and Fig. Fig.3), 3 Keempat subkelompok, subkelompok C2a untuk C2d (Tabel 1 dan Gambar. Gbr.3), 3 ), contained 8, 2, 2, and 10 strains, respectively. ), Berisi 8, 2, 2, dan 10 strain, masing-masing.


FIG. FIG. 3. 3.
Dendrogram of 37 strains of B. Dendrogram dari 37 strain B. sporothermodurans and one strain of B. sporothermodurans dan satu strain B. oleronius obtained by REP-PCR. oleronius diperoleh oleh REP-PCR. The strain and REP group designations correspond to those shown in Table 1 . Ketegangan dan sebutan kelompok REP sesuai dengan yang ditunjukkan pada Tabel 1 . The scale bar indicates the percentage of similarity as determined with the (more ...) Skala bar menunjukkan persentase yang ditentukan kesamaan dengan (more ...)

By performing a cluster analysis of the REP patterns, a dendrogram was constructed (Fig. (Fig.3). 3 Dengan melakukan analisis cluster dari pola REP, dendrogram ini dibuat (Gbr. (Gbr.3). 3 ). ). All of the B. Semua B. sporothermodurans strains showed an overall similarity level of only 50%, indicating great genetic diversity. sporothermodurans strain menunjukkan tingkat kesamaan keseluruhan hanya 50%, yang menunjukkan keanekaragaman genetik yang besar. Only one major cluster, cluster R1, could be discerned visually and by cluster analysis at a meaningful similarity level (80%). Hanya satu cluster besar, cluster R1, dapat dibedakan secara visual dan analisis cluster pada tingkat kesamaan yang berarti (80%). All the UHT isolates were found in this major cluster, which contained REP groups C1 and C2. Semua UHT isolat ditemukan dalam cluster besar, yang berisi kelompok REP C1 dan C2. With the exception of two strains (MB 1494 and MB 1497) which exhibited 84% similarity to each other, the farm strains exhibited less than 80% similarity to each other and to the major cluster R1 strains. Dengan pengecualian dari dua strain (MB MB 1494 dan 1497) yang menunjukkan 84% kemiripan satu sama lain, kesamaan strain peternakan dipamerkan kurang dari 80% satu sama lain dan untuk cluster besar R1 strain. The closest relatives of cluster R1 of UHT isolates based on their REP patterns were farm strains MB 385 (isolated from raw milk) and MB 1317 (isolated from feed concentrate), at a similarity level of 76%. Para kerabat terdekat dari cluster R1 dari UHT isolat berdasarkan pola mereka REP adalah peternakan strain 385 MB (terisolasi dari susu mentah) dan MB 1317 (terisolasi dari konsentrat pakan), pada tingkat kesamaan 76%. Surprisingly, farm strain MB 1505 belonging to REP group C2b (Table 1 ) clustered at only 69% similarity with cluster R1 containing the other REP group C2 strains. Anehnya, peternakan strain 1505 MB milik kelompok REP C2b (Tabel 1 ) bergerombol di hanya 69% kemiripan dengan cluster R1 berisi C2 REP jenis kelompok lain. This can probably be explained by differences in band intensity, such as a less intense major band at ca. Ini mungkin dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam intensitas band, seperti band besar kurang intens di ca. 1,020 bp in the pattern of MB 1505 (Fig. (Fig.3), 3 1020 pb dalam pola MB 1505 (Gambar (Gbr.3), 3 ), which is known to influence clustering by the Pearson correlation coefficient ( 25 ). ), Yang dikenal untuk mempengaruhi clustering oleh koefisien korelasi Pearson ( 25 ).
The REP pattern of B. The REP pola B. oleronius reference strain MB 397 was clearly different from the main B. oleronius 397 MB strain referensi jelas berbeda dari B. utama sporothermodurans pattern. sporothermodurans pola.
Combined analysis of ribotyping and REP-PCR patterns. Gabungan analisis-PCR ribotyping dan pola REP.
The overall or consensus genetic relatedness among the B. Atau konsensus genetik secara keseluruhan keterkaitan antara B. sporothermodurans strains was inferred from a combined numerical analysis of the ribopatterns obtained with Pvu II and Eco RI and the REP-PCR patterns by performing a UPGMA cluster analysis and by three-dimensional scaling. sporothermodurans strain diduga dari analisis numerik gabungan dari ribopatterns diperoleh dengan Pvu II dan Eco RI dan pola REP-PCR dengan melakukan analisis cluster UPGMA dan scaling tiga dimensi. In the cluster analysis (data not shown), 21 of the 24 UHT strains included clustered together at a minimal similarity level of 81%. Dalam analisis cluster (data tidak ditampilkan), 21 dari 24 strain UHT termasuk berkumpul bersama di tingkat kesamaan minimal 81%. In this cluster, 19 UHT strains clustered together at 86% similarity, with strain MB 582 and type strain MB 581 joining at 84 and 81%, respectively. Dalam cluster ini, strain UHT 19 berkumpul bersama pada kesamaan 86%, dengan strain 582 MB dan 581 MB jenis strain bergabung di 84 dan 81%, masing-masing. Conversely, 10 of the 13 farm strains and the three German UHT strains (MB 372 to MB 374) produced a cluster at a lower level of similarity (70%), exhibiting only 67% similarity to the major cluster of UHT strains. Sebaliknya, 10 dari 13 strain peternakan dan tiga strain UHT Jerman (372 MB ke 374 MB) diproduksi cluster di tingkat yang lebih rendah dari kesamaan (70%), menunjukkan hanya 67% kesamaan terhadap cluster utama dari strain UHT. The remaining three farm strains (MB 1316, MB 1495, and MB 1499) clustered together at 76% similarity and exhibited a lower level of similarity (64%) to all other B. Pertanian strain tiga sisa (MB 1316, MB 1495, dan 1499 MB) berkumpul bersama di% kemiripan 76 dan menunjukkan tingkat yang lebih rendah dari kesamaan (64%) untuk semua B. lain sporothermodurans strains. sporothermodurans strain.
The results of the combined analysis of the data by three-dimensional scaling are shown in Fig. Fig.4. 4 Hasil analisis gabungan dari data dengan skala tiga dimensi yang ditunjukkan pada Gambar. Gbr.4. 4 . . In this nonhierarchical presentation of the relationships among the strains, essentially the same groups were obtained as in the hierarchical cluster analysis explained above. Dalam presentasi ini nonhierarchical dari hubungan antara strain, pada dasarnya kelompok yang sama diperoleh seperti dalam analisis cluster hirarkis dijelaskan di atas. All UHT strains except the three German UHT strains formed a compact group, while all farm strains formed a very diffuse group clearly separated from the group of UHT strains. strain UHT Semua kecuali tiga jenis UHT Jerman membentuk sebuah kelompok yang kompak, sementara semua jenis peternakan membentuk sebuah kelompok yang sangat menyebar jelas terpisah dari kelompok strain UHT. The only remarkable difference from the UPGMA cluster analysis was the grouping of the three German UHT isolates at the outer edge of the diffuse group of farm strains, showing a somewhat closer relationship to the other UHT isolates. Satu-satunya perbedaan yang luar biasa dari analisis cluster UPGMA adalah pengelompokan dari Jerman UHT tiga isolat di tepi luar kelompok strain peternakan baur, menunjukkan hubungan yang agak dekat dengan isolat UHT lainnya.



FIG. FIG. 4. 4.
Visual three-dimensional representation of the combined clustering of the two ribotyping patterns ( Eco RI and Pvu II) and REP-PCR profiles of 37 strains of B. Visual tiga dimensi representasi dari pengelompokan gabungan dari dua pola ribotyping (Eco RI dan Pvu II) dan REP-PCR profil dari 37 strain B. sporothermodurans and one strain of B. sporothermodurans dan satu strain B. oleronius , obtained by multidimensional scaling of the (more ...) oleronius, diperoleh skala multidimensi dari (more ...)

• OTHER SECTIONS▼ BAGIAN LAINNYA ▼
O ABSTRACT ABSTRAK
O MATERIALS AND METHODS BAHAN DAN METODE
O RESULTS HASIL
O DISCUSSION DISKUSI
O REFERENCES DAFTAR PUSTAKA
DISCUSSION DISKUSI
In this study, European isolates of B. Dalam studi ini, Eropa isolat B. sporothermodurans from UHT-treated and sterilized milk and isolates obtained from a large screening analysis of heat-resistant sporeformers from the farm environment (raw milk, feed concentrate, silage), as well as new non-European isolates from UHT-treated and sterilized milk, were characterized at different molecular levels. sporothermodurans dari UHT-diperlakukan dan disterilkan susu dan isolat yang diperoleh dari analisis penyaringan besar-sporeformers tahan panas dari lingkungan peternakan (susu mentah, konsentrat pakan, silase), serta baru non-Eropa isolat dari UHT-diperlakukan dan disterilkan susu , dikarakterisasi pada tingkat molekul yang berbeda. The new UHT isolates were obtained from different continents and countries (Mexico, Ecuador, Dominican Republic, Pakistan) and were found to be positive by both the HRS-PCR ( 13 ) and the general B. The UHT baru isolat diperoleh dari berbagai benua dan negara (Meksiko, Ekuador, Republik Dominika, Pakistan) dan ditemukan untuk menjadi positif oleh HRS-PCR ( 13 ) dan B. umum sporothermodurans -specific PCR ( 22 ). sporothermodurans khusus PCR ( 22 ). In contrast, the majority of the farm isolates reacted negatively in the HRS-PCR ( 22 ). Sebaliknya, sebagian besar peternakan isolat bereaksi negatif di HRS-PCR ( 22 ). This result confirms that the HRS-PCR is more discriminatory for the B. Hasil ini menegaskan bahwa HRS-PCR lebih diskriminatif untuk B. sporothermodurans strains which are relevant for UHT-treated products. sporothermodurans strain yang relevan untuk diperlakukan-produk UHT.
In a polyphasic typing approach, separate clustering analyses of Pvu II and Eco RI ribopatterns and of REP-PCR patterns were largely consistent with each other and revealed the existence of two main clusters; one homogeneous group contained all (REP-PCR) or most (ribotyping) of the UHT isolates, and the second, more diverse group comprised the farm isolates (Fig. (Fig.1 1 Dalam pendekatan mengetik polyphasic, analisis clustering terpisah Pvu II dan Eco RI ribopatterns dan pola REP-PCR sebagian besar konsisten satu sama lain dan mengungkapkan adanya dua kelompok utama; satu kelompok homogen berisi semua (REP-PCR) dan paling ( ribotyping) dari UHT isolat, dan yang kedua, kelompok yang lebih beragam terdiri peternakan isolat (Gbr. (Gambar 1 1 to to3). 3 untuk to3). 3 ). ). The high level of genetic homology of most of the UHT isolates was further shown by a combined analysis of all molecular typing data in this study, both by cluster analysis and by three-dimensional scaling, which revealed a very compact cluster or group of isolates. Tingkat tinggi homologi genetik dari kebanyakan isolat UHT semakin ditunjukkan oleh analisis gabungan dari semua data mengetik molekuler dalam penelitian ini, baik dengan analisis cluster dan dengan skala tiga-dimensi, yang mengungkapkan cluster sangat kompak atau kelompok isolat. The close genetic relationship of the UHT isolates suggests a clonal origin (HRS clone), which is particularly remarkable since B. Hubungan genetik dekat UHT isolat menunjukkan sumber berasal dari klon (HRS clone), yang sangat luar biasa karena B. sporothermodurans strains were isolated from UHT-treated and sterilized milk samples produced on three different continents. sporothermodurans strain diisolasi dari UHT-diperlakukan dan disterilkan sampel susu yang diproduksi di tiga benua yang berbeda.
The three German isolates were the only UHT strains whose genetic characteristics were quite different from those of the majority of the UHT strains. Isolat tiga Jerman adalah strain UHT hanya karakteristik genetik yang cukup berbeda dengan mayoritas strain UHT. In a combined cluster analysis of all molecular typing data obtained in this study, the three German UHT strains clustered with the farm strains. Dalam analisis cluster gabungan semua data mengetik molekul yang diperoleh dalam penelitian ini, tiga strain UHT Jerman bergerombol dengan strain pertanian. A three-dimensional scaling analysis of all molecular typing data showed that these strains were at the border of the diffuse group of farm strains and directed to the compact group of UHT isolates. Analisis skala tiga-dimensi dari semua data mengetik molekuler menunjukkan bahwa strain ini berada di perbatasan kelompok baur strain pertanian dan diarahkan untuk kelompok kompak UHT isolat. The latter observation and the REP-PCR and Eco RI ribotyping cluster analysis data suggest that the German UHT isolates have a remote genetic relationship with the HRS clone. Pengamatan terakhir ini dan REP-PCR dan Eco RI ribotyping cluster analisis data menunjukkan bahwa isolat UHT Jerman memiliki hubungan genetik jauh dengan klon HRS. This could also suggest that the extreme resistance of spores to sterilization temperatures is restricted to particular clones that have a possible common ancestor. Ini juga bisa menunjukkan bahwa perlawanan ekstrim dari spora untuk sterilisasi suhu dibatasi untuk klon tertentu yang memiliki nenek moyang mungkin.
In contrast to the homogeneity found for the majority of the UHT isolates, the ribopatterns and REP patterns of the B. Berbeda dengan homogenitas yang ditemukan untuk mayoritas UHT isolat, yang ribopatterns dan pola REP dari B. sporothermodurans strains isolated from animal feed (feed concentrate, silage, soy) and raw milk were much more diverse. sporothermodurans strain terisolasi dari pakan ternak (konsentrat pakan, silase, kedelai) dan susu mentah jauh lebih beragam. Most of the ribogroups and all 12 REP types for the farm isolates were represented by a single strain (Table 1 ). Sebagian besar ribogroups dan semua 12 REP jenis untuk peternakan isolat diwakili oleh strain tunggal (Tabel 1 ). Also, the two HRS-PCR-positive farm strains, which originated from feed concentrate and silage, produced patterns that were different from each other and from the patterns of the main group of UHT isolates (HRS clone) in the ribotyping analysis. Juga, kedua jenis peternakan HRS-PCR-positif, yang berasal dari konsentrat pakan dan silase, menghasilkan pola-pola yang berbeda satu sama lain dan dari pola kelompok utama UHT isolat (HRS clone) dalam analisis ribotyping. Overall, it seems that there is no 100% concordance between a positive result in the HRS-PCR analysis and an HRS clone pattern determined by molecular typing. Secara keseluruhan, tampaknya tidak ada konkordansi 100% antara hasil positif dalam analisis HRS-PCR dan kloning pola HRS ditentukan dengan mengetik molekul.
Milk powder has been suggested to be a possible source of contamination of heat-treated dairy products ( 8 ). Susu bubuk telah diusulkan untuk menjadi sumber kontaminasi yang mungkin diperlakukan produk susu-panas ( 8 ). Since in some plants, UHT-treated or sterilized milk is prepared from imported milk powder, this practice could explain the spread of the same B. Sejak di beberapa tanaman, UHT-diperlakukan atau disterilkan susu dibuat dari susu bubuk impor, praktek ini bisa menjelaskan penyebaran B. sama sporothermodurans HRS clone over different continents. sporothermodurans HRS klon atas benua yang berbeda. Within one country, one can envisage a contamination route via raw milk that has been contaminated through animal feed at the farm level. Dalam satu negara, kita dapat membayangkan rute kontaminasi melalui susu mentah yang telah tercemar melalui pakan ternak di tingkat petani. Based on this assumption, one would expect to find B. Berdasarkan asumsi ini, orang akan berharap untuk menemukan B. sporothermodurans strains having similar ribopatterns or REP-PCR patterns in animal feed or raw milk, as well as in UHT-treated or sterilized milk. sporothermodurans strain memiliki ribopatterns serupa atau pola REP-PCR dalam pakan hewan atau susu mentah, serta di-UHT susu dirawat atau disterilkan. However, the combined analysis of all typing data definitely showed that none of the farm isolates genetically resembled any of the UHT isolates. Namun, analisis gabungan semua data mengetik pasti menunjukkan bahwa tidak ada peternakan genetik isolat menyerupai apapun UHT isolat. Since all farm isolates in this study originated from Belgium, they probably represent only a limited part of the natural genetic diversity of B. Sejak pertanian semua isolat dalam penelitian ini berasal dari Belgia, mereka mungkin hanya mewakili bagian terbatas dari keragaman genetik alam B. sporothermodurans . sporothermodurans. The data presented here confirm the hypothesis that the regular occurrence of contaminated UHT-treated and sterilized milk in some European dairy plants in the mid-1990s, as well as the present sporadic occurrence of contamination, can also be caused by circulation of the HRS clone within and between UHT production units. Data yang disajikan di sini mengkonfirmasi hipotesis bahwa terjadinya reguler terkontaminasi UHT-diperlakukan dan disterilkan susu di beberapa pabrik susu Eropa pada pertengahan 1990-an, serta terjadinya kontaminasi sporadis ini, juga dapat disebabkan oleh sirkulasi dari klon HRS dalam dan di antara unit produksi UHT. Occasionally, contamination of UHT-treated milk by a new genetic type (eg, a type originating at the farm level) occurs, as exemplified here by the German UHT isolates. Kadang-kadang, kontaminasi susu UHT-diperlakukan dengan jenis genetik baru (misalnya, jenis yang berasal di tingkat petani) terjadi, seperti yang tampak di sini oleh UHT Jerman isolat. At present, the data obtained in this study do not favor or eliminate any of the potential contamination routes mentioned above. Saat ini, data yang diperoleh dalam studi ini tidak mendukung atau menghilangkan salah satu rute potensial kontaminasi disebutkan di atas.
In conclusion, this molecular typing study showed that a few clones of B. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa molekul mengetik beberapa klon B. sporothermodurans , including the so-called HRS clone, have been and are still responsible for the contamination of UHT-treated and sterilized milk and milk products due to the production of highly heat-resistant spores. sporothermodurans, termasuk yang disebut HRS klon-jadi, telah dan masih bertanggung jawab atas kontaminasi UHT-diperlakukan dan disterilkan susu dan produk susu karena produksi spora tahan panas tinggi. In particular, the HRS clone has spread over several European countries and even between continents. Secara khusus, klon HRS telah tersebar di beberapa negara Eropa dan bahkan antar benua. The strains isolated from UHT-treated and sterilized milk show a close genetic relationship, suggesting a common ancestry for the production of highly heat-resistant spores. Strain terisolasi dari UHT-diperlakukan dan disterilkan susu menunjukkan hubungan genetik dekat, menyarankan nenek moyang yang sama untuk produksi spora yang sangat tahan panas. An intriguing question which emerges, is whether the capacity to produce highly heat-resistant spores that allow survival after certain heat treatments is restricted to the subgroup of UHT isolates or whether it is a property more widespread in B sporothermodurnans , including the farm isolates. Sebuah pertanyaan menarik yang muncul, adalah apakah kapasitas untuk memproduksi spora tahan panas tinggi yang memungkinkan kelangsungan hidup setelah perlakuan panas tertentu terbatas pada subkelompok UHT isolat atau apakah itu adalah properti lebih luas di sporothermodurnans B, termasuk peternakan isolat. Although heat resistance is not an absolute spore property and is influenced by several factors, such as repeated laboratory cultivation ( 16 ), preliminary studies indicate that some farm isolates produce spores with remarkably high heat resistance. Meskipun ketahanan panas bukan properti spora mutlak dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti budidaya laboratorium ulang ( 16 ), penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pertanian beberapa isolat menghasilkan spora dengan panas perlawanan sangat tinggi. However, it remains to be determined whether these spores can also survive UHT treatment (O. Guillaume-Gentil, P. Keijzer, P. Scheldeman, and M. Heyndrickx, unpublished data). Namun, masih harus ditentukan apakah spora ini juga dapat bertahan hidup pengobatan UHT (O. Guillaume-Gentil, P. Keijzer, P. Scheldeman, dan M. Heyndrickx, data tidak dipublikasikan). The molecular typing techniques used in this study demonstrated the great genetic heterogeneity of B. Teknik molekular mengetik yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan heterogenitas genetik yang besar B. sporothermodurans isolates from dairy farms, even though they had been isolated in only one country. sporothermodurans isolat dari peternakan sapi perah, meskipun mereka telah diisolasi hanya dalam satu negara. Because of this observed heterogeneity, the original taxonomic description of B. Karena heterogenitas ini diamati, deskripsi taksonomi asli B. sporothermodurans , which was based on only a few genetically homogeneous UHT isolates ( 20 ), may no longer be adequate. sporothermodurans, yang didasarkan pada hanya beberapa homogen UHT genetis isolat ( 20 ), mungkin tidak lagi memadai.
ACKNOWLEDGMENTS UCAPAN TERIMA KASIH
We thank the Belgian Ministry of Small Enterprises, Traders and Agriculture, DG6—Division of Research, for financial support. Kami mengucapkan terima kasih kepada Menteri Belgia Usaha Kecil, Pedagang dan Pertanian, DG6-Divisi Riset, untuk dukungan keuangan.
We thank E. Engels for performing REP-PCR, P. De Vos (University of Ghent, Ghent, Belgium) for the use of the BioNumerics software, and E. Bidlas for determination of ribopatterns. Kami berterima kasih E. Engels untuk melakukan REP-PCR, P. De Vos (University of Ghent, Ghent, Belgia) untuk penggunaan perangkat lunak BioNumerics, dan E. Bidlas untuk penentuan ribopatterns.
• OTHER SECTIONS▼ BAGIAN LAINNYA ▼
O ABSTRACT ABSTRAK
O MATERIALS AND METHODS BAHAN DAN METODE
O RESULTS HASIL
O DISCUSSION DISKUSI
O REFERENCES DAFTAR PUSTAKA
REFERENCES DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 1992. 1.. Anonymous 1992. Directive 92/46/EEC. Petunjuk 92/46/EEC. Council of the European Communities of 16 July. Dewan Masyarakat Eropa 16 Juli. Health rules for the production and the trade of raw milk, heat-treated milk, and products based on milk. Kesehatan aturan untuk produksi dan perdagangan susu mentah, yang diobati susu panas, dan produk berbasis susu. Off. Off. J. Eur. J. Eur. Community L268: 1-32. Komunitas L268: 1-32.
2. Bruce, J. 1996. 2. Bruce, J. 1996. Automated system rapidly identifies and characterizes micro-organisms in food. Food Technol. 50 : 77-81. sistem otomatis cepat mengidentifikasi dan mencirikan mikro-organisme dalam makanan Technol. Pangan:. 50 77-81.
3. Dalsgaard, A., P. Echeverria, JL Larsen, R. Siebeling, O. Serichantalergs, and HH Huss. 1995. 3. Dalsgaard, A., P. Echeverria, Larsen JL, R. Siebeling, O. Serichantalergs, dan Huss HH. 1995. Application of ribotyping for differentiating Vibrio cholerae Vibrio cholerae non-O1 isolated from shrimp farms in Thailand. Appl. Aplikasi ribotyping untuk membedakan Vibrio cholerae Vibrio cholerae non-O1 diisolasi dari tambak udang di Thailand. Appl. Environ. Environ. Microbiol. 61 : 245-251. [ PMC free article ] [ PubMed ] Microbiol:. 61 245-251 [. PMC bebas artikel ] [ PubMed ]
4. De Silva, S., B. Pettersson, M. De Muro, and F. Priest. 1998. 4,. De Silva S., B. Pettersson, M. De Muro, dan Imam F.. 1998. A DNA probe for the detection and identification of Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans using the 16S-23S rDNA spacer region and phylogenetic analysis of some field isolates of Bacillus Bacillus which form highly heat resistant spores. Syst. Sebuah probe DNA untuk deteksi dan identifikasi Bacillus Bacillus sporothermodurans sporothermodurans menggunakan rDNA 23S-16S spacer wilayah dan analisis filogenetik lapangan beberapa isolat Bacillus Bacillus yang membentuk spora yang sangat tahan panas. SYST. Appl. Appl. Microbiol. 21 : 388-407. Microbiol:. 21 388-407.
5. Dombek, P., L. Johnson, S. Zimmerley, and M. Sadowsky. 2000. 5,. Dombek P., L. Johnson, S. Zimmerley, dan Sadowsky M.. 2000. Use of repetitive DNA sequences and the PCR to differentiate Escherichia coli Escherichia coli isolates from human and animal sources. Appl. Gunakan urutan DNA repetitif dan PCR untuk membedakan Escherichia coli Escherichia coli isolat dari sumber-sumber manusia dan hewan. Appl. Environ. Environ. Microbiol. 66 : 2572-2577. [ PMC free article ] [ PubMed ] Microbiol:. 66 2572-2577 [. PMC bebas artikel ] [ PubMed ]
6. Foschino, R., A. Galli, and G. Ottogali. 1990. 6,. Foschino R., A. Galli, dan Ottogali. 1990 G.. Research on the microflora of UHT milk. Ann. Penelitian mengenai susu UHT mikroflora. Ann. Microbiol. 40 : 47-59. Microbiol:. 40 47-59.
7. Gendel, SM, and J. Ulaszek. 2000. 7,. Gendel SM, dan Ulaszek. 2000 J.. Ribotype analysis of strain distribution in Listeria monocytogenes Listeria monocytogenes. J. analisis Ribotype strain distribusi di Listeria monocytogenes Listeria monocytogenes. J. Food Prot. 63 : 179-185. [ PubMed ] Makanan Prot:. 63. [179-185 PubMed ]
8. Hammer, P., F. Lembke, G. Suhren, and W. Heeschen. 1995. 8. Hammer, P., F. Lembke, G. Suhren, dan Heeschen W.. 1995. Characterization of a heat resistant mesophilic Bacillus Bacillus species affecting quality of UHT-milk—a preliminary report. Kiel. Karakterisasi panas spesies Bacillus Bacillus mesofilik tahan mempengaruhi kualitas susu-sebuah awal laporan UHT. Kiel. Milchwirtsch. Milchwirtsch. Forschungsber. 47 : 303-311. Forschungsber:. 47 303-311.
9. Hammer, P., G. Suhren, and W. Heeschen. 1995. 9. Hammer, P., G. Suhren, dan Heeschen W.. 1995. Pathogenicity testing of unknown mesophilic heat resistant bacilli from UHT-milk. Bull. Patogenisitas pengujian panas mesofilik diketahui tahan bakteri dari susu UHT-. Bull. Int. Int. Dairy Fed. 302 : 56-57. Susu Fed:. 302 56-57.
10. Herman, L., M. Heyndrickx, M. Vaerewijck, and N. Klijn. 2000. Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans—a Bacillus Bacillus forming highly heat-resistant spores. 10,. Herman L., M. Heyndrickx, M. Vaerewijck, dan N. Klijn. 2000. Sporothermodurans Bacillus Bacillus sporothermodurans-sebuah Bacillus Bacillus membentuk spora tahan panas tinggi. 3. 3. Isolation and methods of detection. Bull. Isolasi dan metode deteksi. Bull. Int. Int. Dairy Fed. 357 : 9-14. Susu Fed:. 357 9-14.
11. Herman, L., and M. Heyndrickx. 2000. 11,. Herman L., dan Heyndrickx. 2000 M.. The presence of intragenically located REP-like elements in Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans is sufficient for REP-PCR typing. Res. Microbiol. 151 : 255-261. [ PubMed ]
12. Herman, L., M. Heyndrickx, and G. Waes. 1998. Typing of Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans and other Bacillus Bacillus species isolated from milk by repetitive element sequence based PCR. Lett. Appl. Microbiol. 26 : 183-188. [ PubMed ]
13. Herman, L., M. Vaerewijck, R. Moermans, and G. Waes. 1997. Identification and detection of Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans spores in 1, 10, and 100 milliliters of raw milk by PCR. Appl. Environ. Microbiol. 63 : 3138-3143.
14. Heyndrickx, M., N. Rijpens, and L. Herman. 2001. Molecular detection and typing of foodborne bacterial pathogens: a review, p. 193-238. In In A. Durieux and J.-P. Simon (ed.), Trends in bio/technology. Applied microbiology. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands.
15. Heyndrickx, M., L. Vauterin, P. Vandamme, K. Kersters, and P. De Vos. 1996. Applicability of combined amplified ribosomal DNA restriction analysis (ARDRA) patterns in bacterial phylogeny and taxonomy. J. Microbiol. Methods 26 : 247-259.
16. Huemer, I., N. Klijn, H. Vogelsang, and L. Langeveld. 1998. Thermal death kinetics of spores of Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans isolated from UHT-milk. Int. Dairy J. 8 : 851-855.
17. Kessler, HG, J. Pfeifer, and C. Schwöppe. 1994. Untersuchungen über hitze resistente mesophile Bacillus Bacillus-Sporen in UHT-Milch. Dtsch. Milchwirtsch. 13 : 588-592.
18. Klijn, N., L. Herman, L. Langeveld, M. Vaerewijck, A.Wagendorp, I. Huemer, and A. Weerkamp. 1997. Genotypical and phenotypical characterization of Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans strains, surviving UHT sterilization. Int. Dairy J. 7 : 421-428.
19. Nociari, MM, M. Catalano, M. Torrero, and DO Sordelli. 1996. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa ribotyping: stability and interpretation of ribosomal operon restriction patterns. Diagn. Microbiol. Infect. Dis. 25 : 27-33. [ PubMed ]
20. Pettersson, B., F. Lembke, P. Hammer, E. Stackebrandt, and F. Priest. 1996. Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans, a new species producing highly heat-resistant endospores. Int. J. Syst. Bact. 46 : 759-764.
21. Pitcher, DG, NA Saunders, and RJ Owen. 1989. Rapid extraction of bacterial genomic DNA with guanidium thiocyanate. Lett. Appl. Microbiol. 8 : 151-156.
22. Scheldeman, P., L. Herman, J. Goris, P. De Vos, and M. Heyndrickx. 2002. Polymerase chain reaction identification of Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans from dairy sources. J. Appl. J. Appl. Microbiol. 92 : 983-991.
23. Skinner, GE, SM Gendel, GA Fingerhut, HA Solomon, and J. Ulaszek. 2000. Differentiation between types and strains of Clostridium botulinum Clostridium botulinum by riboprinting. J. Food Prot. 63 : 1347-1352. [ PubMed ]
24. Vaerewijck, MJM, P. De Vos, L. Lebbe, P. Scheldeman, B. Hoste, and M. Heyndrickx. 2001. Occurrence of Bacillus sporothermodurans Bacillus sporothermodurans and other aerobic sporeforming species in feed concentrate for dairy cattle. J. Appl. Microbiol. 91 : 1074-1084. [ PubMed ]
25. Vandamme, P., B. Pot, M. Gillis, P. De Vos, K. Kersters, and J. Swings. 1996. 25,. Vandamme P., B. Pot, M. Gillis, P. De Vos, K. Kersters, dan swings J.. 1996. Polyphasic taxonomy, a consensus approach to bacterial systematics. Microbiol. Rev. 60 : 407-438. [ PMC free article ] [ PubMed ]

Articles from Applied and Environmental Microbiology are provided here courtesy of
American Society for Microbiology (ASM)